Sabtu, 24 Mei 2014

PECI PUTIH BUAT AYAH



PECI PUTIH BUAT AYAH
BY ;  El Fasiy
                Deru angin pantai barat selatan menampar pipiku.  Di  mataku terhampar maha karya agung yang begitu sempurna dengan pasir putih berkilauan sepanjang lintasan pantai, air yang berwarna biru toska, dipadukan dengan ombak yang saling berkejaran, membuat para tourist dari manca Negara begitu betah berselancar. Entah kenapa, aku begitu dekat dengan laut, seolah-olah ia telah menjadi bagian dari diriku. Selama ini, ketika suasana hatiku kacau, maka lautlah yang menjadi tempat curhatan hati, hanya dengan pesonanya, sejenak segala permasalahanku hanyut ditelan ombak.
                Seperti halnya kejadian tadi siang, membuat kepalaku begitu pusing. Bayangkan saja, pertengkaran antara kedua orang tuaku selama ini selalu bergemuruh, padahal hanya berawal dari masalah sepele, tapi masalah dibesar-besarkan. Aku selaku anak tertua dari 4 bersaudara tidak sanggup lagi menasehati mereka, selalu hasilnya nihil, salah satu jalan keluarnya ya begini, memandang sang lautan biru yang begitu menawan dan mencoba berbicara dengannya.
                “ Bang Irham,,,,  Bang Irham”, terdengar suara seseorang yang begitu akrab denganku dari kejauhan.
                “Bang Irham,,,, Bang Irham” panggilnya lagi.
                “ Ini pasti Azizah” batinku dalam hati. Mungkin dia khawatir terhadap kepergiankutadi siang dari rumah. Laut memang tak begitu jauh dari rumahku, hanya dengan melewati beberapa rumah saja.
                “ ada apa, dek..?  kenapa harus lari-lari sich..?” tanyaku penasaran terhadap nafasnya yang ngos – ngosan.
                “Bunda suruh pulang abang segera, ada hal penting yang ingin bunda bicarakan” jawabnya polos.
                Tidak seperti biasanya bunda menyuruh si kecil buat mencariku. Biasanya aku hanya kerasan berada di pandai sewaktu sunyi dari pengunjung, dimana suara deburan ombak masih terdengar bergelora, kicauan burung terdengar mesra dan semilir angin bertiup    sepoi – sepoi. Setelah terdengar adzan dari masjid Al- Munawwarah, saya langsung beranjak, ditambah lagi para pengunjung mulai berdatangan, membuat suasana  kacau, tapi kali ini belum tiga puluh menitan keluar dari rumah, si kecil sudah menyusul ke pantai.

“ ada apa gerangan dengan bunda ..?” tanda Tanya besar bermain di kepalaku
“Mudah – mudahan tidak terjadi apa – apa dengan bunda...!” batinku dalam hati.
Akupun beranjak dari suguhan panorama yang begitu menawan. Langkah kakiku berjalan agak cepat dari biasanya, sehingga membuat berlari – lari kecil mengejarku dibelakang, ia nampaknya tak ingin tertinggal jauh di belakang dan ingin menyamai langkah denganku.
Hanya sepuluh menitan , aku telah berada di depan pagar kayu sementara yang dibuat ayahku dulu setelah sebelumnya dihantam gelombang tsunami, tapi yang anehnya lagi, sang air bah tersebut tidak sempat meruntuhkan rumah warisan yang dibangun kakekku pada masa penjajahan kolonial belanda dulu.
Melihat pintu rumah yang terbuka, aku langsung melangkah masuk, seraya memberi salam. “ Assala……..”
“pring …pring…….pring” terdengar suara piring pecah
Suaraku berhenti dengan sendirinya, ucapan salampun terputus.
Tanpa banyak bicara, dengan hati – hati aku melangkah perlahan – lahan, ibarat pencuri professional yang beraksi tengah malam. Telingaku menangkap suara gaduh di dapur. Akupun kembali melangkah perlahan – lahan menuju dapur.
“ kamu pikir, kamu itu siapa..?” bentak ayahku dengan suara lantangnya
Sekilas aku melihat mata bunda yang berkaca – kaca, menahan isak tangisnya, wajahnya putih sembab.
“ saya kepala keluarga disini, jadi kamu tidak berhak menghalangikemauanku, ini demi masa depan Irham juga,,,!” tambahnya lagi.
Aku sekarang paham permasalahannya, gara – gara keinginanku untuk melanjutkan studi ke Dayah MUDI MESRA Samalanga, bukannya ke UNSYIAH seperti keinginan sang ayah. Ayah bertambah marah  sama bunda ditambah lagi percikan – percikan api yang terjadi antara keduanya membuat pertengkaran bertambah bergejolak.
Aku bertambah sedih melihat bunda membela keputusanku di depan ayah, hatiku miris.  “ ayah,,,! Besok aku akan mendaftar SNMPTN sebelum ditutup”, kataku singkat di belakang dinding. Lalu aku masuk kamar, bergegas memasukkan 2 baju, 2 celana, dan champiro seadanya ke dalam ransel serta mengganti baju yang aku pakai sekarang, akupun beranjak keluar kamar.
“ Irham,,, irham,,,,,, irham,,!” panggil ayahku dari ruang tamu.
Aku mengabaikan  panggilannyadan terus berjalan keluar rumah. Terlihat Edy telah menunggu di depan pagar rumah, setelah sebelumnya aku memintanya menjemputku.
“ Irham,,, Irham,,,,!” mau kemana kamu,, nak..? Tanya bunda sambil berlarian dari dapur. Aku hanya menoleh padanya dan tersenyum. Sejenak terlihat wajah bunda pasrah, pasrah akan kepergianku. Kemudian kawanku langsung menstarter satria F-nya.
Satria F-nya melaju dengan kecepatan 60 km/jam, sekali terlihat mobil berat, interkuler melewati kami, membuat debu di jalanan beterbangan. Aku yang tidak memakai helm, terpaksa menutup hidung dengan tanganku sambil menoleh ke belakang. Lintasan pantai barat selatan yang selama ini menjadi saksi bisu kegalauanku bersama lampoh kuta yang permai, sedikit demi sedikit menjauh dari pandanganku hingga hanya nampak lukisan pemandangan alam yang eksotik.
Setelah melawan debu pasir, kami sampai di terminal L-300. Edy memarkirkan motornya, sedangkanku pergi membeli karcis tujuan Banda Aceh. Setelah membeli ticket, Edy minta izin pulang. Wajahnya menampakkan kesedihan, ia menepuk – nepuk bahuku dan menyuruhku bersabar. “Mungkin inilah jalan yang terbaik bagimu”, katanya menguatkanku.
Malam memang menjadi lintasan khusus buat L-300, ia bebas begerak tanpa memperhatikan jalur kiri yang menjadi jalurnya. Aku duduk termenung di samping jendela, teringat bunda di rumah. Apakah wanita tua yang selalu membimbingku selama ini mengkhawatirkanku...? tentu iya jawabannya, matakupun terpejam.
Aku terbuai dalam mimpi. Di seberang lautan, ayah dengan peci putihnya menjulurkan tangan ingin meraih tanganku akan tetapi terhalang oleh lautan yang begitu luas. Tiba –tiba aku berada di suatu taman yang begitu indah. Tapi tidak ada seorangpun di taman itu, aku sendirian. Sehingga mataku terbuka ketika memasuki geurutee yang berliku – liku. Hawa dinginnya menembus kaca jendela mobil yang tertutup rapat dan masuk ke sela -   sela jari kakiku.
Aku bertanya, tanya dalam hati tentang mimpi itu, hinnga akhirnya L300 memasuki terminal batoh. Di kios kecil ujung terminal Bang Rahmad telah menungguku, setelah sebelumya aku memberitahukan abang sepupuku ini atas kedatanganku ke Banda Aceh. Akupun menuju kesana. Perjalanan diteruskan ke rumah kosnya . badanku terasa berat dan pegal, Bang  Rahmat menyuruhku buat langsung istirahat.
Jam sepuluh aku dibangunkan B’rahmad, mataku masih sayu.
“ sana mandi dulu Ir,, biar badanmu segar” sarannya.
Setelah itu, aku dibantu Bang Rahmad buat daftar SNMPTN jalur tertulis dan dua hari lagi akan langsung mengikuti tes.
Memang kampus UNSYIAH begitu besar, calon mahasiswa dari berbagai daerah tumpah ruah mengikuti seleksi. Walaupun begitu, tidak membuat ciut keinginanku tuk ngaji ke MUDI MESRA Samalanga sebagai pilihanku.
Sudah tiga hari di Banda Aceh, aku memutuskan buat langsung pulang. Bang Rahmad mengantarku ke terminal setelah sebelumnya aku membeli peci putih sebagai hadiah buat ayah. Entah kenapa harus peci putih ? mungkin karena mimpi 3 hari lau yang masih terbayang dalam pikiranku.
L300 telah meninggalkan terminal 15 menit yang lalu. Aku duduk disamping jendela lagi. Bangunan – bangunan pertokoan telah tertinggal jauh di belakang, hampaan sawah yang telah menguning terlihat begitu luas di sepanjang jalan lam puuk. Mobil memasuki gerutee, hatiku begitu khawatir, jantungku berdetak begitu kencang, perasaan itu muncul secara tiba – tiba , mobil berjalan begitu perlahan. Suasana begitu mencekam, pandanganku menjadi kabur. Aku berkali – kali mengucek mata tapi malah bertambah kabur, hingga L300 yang aku tumpangi berada di jalur turunan. Mobil melaju agak cepat, dan bertambah cepat kesepatannya hingga keluar badan jalan, mobil menjadi oleng dan tidak seimbang. Para penumpang berteriak histeris ketika mobil menabrak pembatas dan meluncur turun ke jurang. Seorang makhluk yang berjubah putih mendekap tubuhku begitu erat, nafasku sesak keringat keluar berpeluh – peluh, hingga akhirnya keluar kalimat tauhid dengan begitu lirih dari mulutku “LAILAHA ILLALLAH....MUHAMMADUR RASULULLAH”
Banda Aceh,................. ... setelah 2 hari, akhirnya L300 yang ditumpangi 9 penumpang  berhasil diangkat oleh alat berat. Anehnya, tim SARS hanya menemukan seorang anak laki –laki remaja yang memegang erat sebuah kado putih dengan wajah tersenyum tanpa bernyawa, dari identitas korban tercantum bahwa namaya Muhammad Irham. sedangkan  korban lainnya masih dalam pencarian. Kemungkinan besar para korban lainnya telah jatuh ke bawah jurang yang begitu dalam.
Tangisan dan belasungkawa membuncah di rumah Pak Yasir dan Bu Fatimah. Suasananya dipenuhi oleh kesedihan yang begitu dalam. Bu Fatimah terlihat beberapa kali pingsan, sedangkan Pak Yasir termenung tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Almarhum telah dimandikan dan dikafankan, laul dibawa ke depan rumah untuk di sembahyangkan. Tgk. Sulaiman, selaku imam gampong bertindak sebagai imam dan memberikan sedikit tausiah. Beliau menyampaikan bahwa kita hanya merencanakan, tetapi Allahlah yang menentukan.
“ apa bila datang ajal kamu, maka tidak terlambat sedikitpun dan tidak pula terdahulu”.
Pak Yasir yang berdiri di depan jenazah menitikkan air mata , hatinya begitu tersentuh, apalagi ketika mengingat hanya sang ayahlah yang bisa melepaskan bungkusan kado yang dipegang almarhum, peci putih buat ayah.

0 komentar:

Posting Komentar