BY ; El Fasiy
Deru
angin pantai barat selatan menampar pipiku.
Di mataku terhampar maha karya
agung yang begitu sempurna dengan pasir putih berkilauan sepanjang lintasan
pantai, air yang berwarna biru toska, dipadukan dengan ombak yang saling
berkejaran, membuat para tourist dari manca Negara begitu betah berselancar.
Entah kenapa, aku begitu dekat dengan laut, seolah-olah ia telah menjadi bagian
dari diriku. Selama ini, ketika suasana hatiku kacau, maka lautlah yang menjadi
tempat curhatan hati, hanya dengan pesonanya, sejenak segala permasalahanku
hanyut ditelan ombak.
Seperti
halnya kejadian tadi siang, membuat kepalaku begitu pusing. Bayangkan saja,
pertengkaran antara kedua orang tuaku selama ini selalu bergemuruh, padahal hanya
berawal dari masalah sepele, tapi masalah dibesar-besarkan. Aku selaku anak
tertua dari 4 bersaudara tidak sanggup lagi menasehati mereka, selalu hasilnya
nihil, salah satu jalan keluarnya ya begini, memandang sang lautan biru yang
begitu menawan dan mencoba berbicara dengannya.
“ Bang
Irham,,,, Bang Irham”, terdengar suara
seseorang yang begitu akrab denganku dari kejauhan.
“Bang
Irham,,,, Bang Irham” panggilnya lagi.
“ Ini
pasti Azizah” batinku dalam hati. Mungkin dia khawatir terhadap kepergiankutadi
siang dari rumah. Laut memang tak begitu jauh dari rumahku, hanya dengan
melewati beberapa rumah saja.
“ ada
apa, dek..? kenapa harus lari-lari
sich..?” tanyaku penasaran terhadap nafasnya yang ngos – ngosan.
“Bunda
suruh pulang abang segera, ada hal penting yang ingin bunda bicarakan” jawabnya
polos.
Tidak
seperti biasanya bunda menyuruh si kecil buat mencariku. Biasanya aku hanya
kerasan berada di pandai sewaktu sunyi dari pengunjung, dimana suara deburan
ombak masih terdengar bergelora, kicauan burung terdengar mesra dan semilir
angin bertiup sepoi – sepoi. Setelah
terdengar adzan dari masjid Al- Munawwarah, saya langsung beranjak, ditambah
lagi para pengunjung mulai berdatangan, membuat suasana kacau, tapi kali ini belum tiga puluh menitan
keluar dari rumah, si kecil sudah menyusul ke pantai.
“ ada apa gerangan dengan bunda
..?” tanda Tanya besar bermain di kepalaku
“Mudah – mudahan tidak terjadi apa
– apa dengan bunda...!” batinku dalam hati.
Akupun beranjak dari suguhan
panorama yang begitu menawan. Langkah kakiku berjalan agak cepat dari biasanya,
sehingga membuat berlari – lari kecil mengejarku dibelakang, ia nampaknya tak
ingin tertinggal jauh di belakang dan ingin menyamai langkah denganku.
Hanya sepuluh menitan , aku telah
berada di depan pagar kayu sementara yang dibuat ayahku dulu setelah sebelumnya
dihantam gelombang tsunami, tapi yang anehnya lagi, sang air bah tersebut tidak
sempat meruntuhkan rumah warisan yang dibangun kakekku pada masa penjajahan
kolonial belanda dulu.
Melihat pintu rumah yang terbuka,
aku langsung melangkah masuk, seraya memberi salam. “ Assala……..”
“pring …pring…….pring” terdengar
suara piring pecah
Suaraku berhenti dengan sendirinya,
ucapan salampun terputus.
Tanpa banyak bicara, dengan hati –
hati aku melangkah perlahan – lahan, ibarat pencuri professional yang beraksi
tengah malam. Telingaku menangkap suara gaduh di dapur. Akupun kembali
melangkah perlahan – lahan menuju dapur.
“ kamu pikir, kamu itu siapa..?”
bentak ayahku dengan suara lantangnya
Sekilas aku melihat mata bunda yang
berkaca – kaca, menahan isak tangisnya, wajahnya putih sembab.
“ saya kepala keluarga disini, jadi
kamu tidak berhak menghalangikemauanku, ini demi masa depan Irham juga,,,!”
tambahnya lagi.
Aku sekarang paham permasalahannya,
gara – gara keinginanku untuk melanjutkan studi ke Dayah MUDI MESRA Samalanga,
bukannya ke UNSYIAH seperti keinginan sang ayah. Ayah bertambah marah sama bunda ditambah lagi percikan – percikan
api yang terjadi antara keduanya membuat pertengkaran bertambah bergejolak.
Aku bertambah sedih melihat bunda
membela keputusanku di depan ayah, hatiku miris. “ ayah,,,! Besok aku akan mendaftar SNMPTN
sebelum ditutup”, kataku singkat di belakang dinding. Lalu aku masuk kamar,
bergegas memasukkan 2 baju, 2 celana, dan champiro seadanya ke dalam ransel
serta mengganti baju yang aku pakai sekarang, akupun beranjak keluar kamar.
“ Irham,,, irham,,,,,, irham,,!”
panggil ayahku dari ruang tamu.
Aku mengabaikan panggilannyadan terus berjalan keluar rumah.
Terlihat Edy telah menunggu di depan pagar rumah, setelah sebelumnya aku
memintanya menjemputku.
“ Irham,,, Irham,,,,!” mau kemana
kamu,, nak..? Tanya bunda sambil berlarian dari dapur. Aku hanya menoleh
padanya dan tersenyum. Sejenak terlihat wajah bunda pasrah, pasrah akan kepergianku.
Kemudian kawanku langsung menstarter satria F-nya.
Satria F-nya melaju dengan kecepatan 60 km/jam, sekali terlihat mobil
berat, interkuler melewati kami, membuat debu di jalanan beterbangan. Aku yang
tidak memakai helm, terpaksa menutup hidung dengan tanganku sambil menoleh ke
belakang. Lintasan pantai barat selatan yang selama ini menjadi saksi bisu
kegalauanku bersama lampoh kuta yang permai, sedikit demi sedikit menjauh dari
pandanganku hingga hanya nampak lukisan pemandangan alam yang eksotik.
Setelah melawan debu pasir, kami sampai di terminal L-300. Edy memarkirkan
motornya, sedangkanku pergi membeli karcis tujuan Banda Aceh. Setelah membeli
ticket, Edy minta izin pulang. Wajahnya menampakkan kesedihan, ia menepuk –
nepuk bahuku dan menyuruhku bersabar. “Mungkin inilah jalan yang terbaik
bagimu”, katanya menguatkanku.
Malam memang menjadi lintasan khusus buat L-300, ia bebas begerak tanpa
memperhatikan jalur kiri yang menjadi jalurnya. Aku duduk termenung di samping
jendela, teringat bunda di rumah. Apakah wanita tua yang selalu membimbingku
selama ini mengkhawatirkanku...? tentu iya jawabannya, matakupun terpejam.
Aku terbuai dalam mimpi. Di seberang lautan, ayah dengan peci putihnya
menjulurkan tangan ingin meraih tanganku akan tetapi terhalang oleh lautan yang
begitu luas. Tiba –tiba aku berada di suatu taman yang begitu indah. Tapi tidak
ada seorangpun di taman itu, aku sendirian. Sehingga mataku terbuka ketika
memasuki geurutee yang berliku – liku. Hawa dinginnya menembus kaca jendela mobil
yang tertutup rapat dan masuk ke sela -
sela jari kakiku.
Aku bertanya, tanya dalam hati tentang mimpi itu, hinnga akhirnya L300
memasuki terminal batoh. Di kios kecil ujung terminal Bang Rahmad telah
menungguku, setelah sebelumya aku memberitahukan abang sepupuku ini atas
kedatanganku ke Banda Aceh. Akupun menuju kesana. Perjalanan diteruskan ke
rumah kosnya . badanku terasa berat dan pegal, Bang Rahmat menyuruhku buat langsung istirahat.
Jam sepuluh aku dibangunkan B’rahmad, mataku masih sayu.
“ sana mandi dulu Ir,, biar badanmu segar” sarannya.
Setelah itu, aku dibantu Bang Rahmad buat daftar SNMPTN jalur tertulis dan
dua hari lagi akan langsung mengikuti tes.
Memang kampus UNSYIAH begitu besar, calon mahasiswa dari berbagai daerah
tumpah ruah mengikuti seleksi. Walaupun begitu, tidak membuat ciut keinginanku
tuk ngaji ke MUDI MESRA Samalanga sebagai pilihanku.
Sudah tiga hari di Banda Aceh, aku memutuskan buat langsung pulang. Bang
Rahmad mengantarku ke terminal setelah sebelumnya aku membeli peci putih
sebagai hadiah buat ayah. Entah kenapa harus peci putih ? mungkin karena mimpi
3 hari lau yang masih terbayang dalam pikiranku.
L300 telah meninggalkan terminal 15 menit yang lalu. Aku duduk disamping
jendela lagi. Bangunan – bangunan pertokoan telah tertinggal jauh di belakang,
hampaan sawah yang telah menguning terlihat begitu luas di sepanjang jalan lam
puuk. Mobil memasuki gerutee, hatiku begitu khawatir, jantungku berdetak begitu
kencang, perasaan itu muncul secara tiba – tiba , mobil berjalan begitu
perlahan. Suasana begitu mencekam, pandanganku menjadi kabur. Aku berkali –
kali mengucek mata tapi malah bertambah kabur, hingga L300 yang aku tumpangi
berada di jalur turunan. Mobil melaju agak cepat, dan bertambah cepat
kesepatannya hingga keluar badan jalan, mobil menjadi oleng dan tidak seimbang.
Para penumpang berteriak histeris ketika mobil menabrak pembatas dan meluncur
turun ke jurang. Seorang makhluk yang berjubah putih mendekap tubuhku begitu
erat, nafasku sesak keringat keluar berpeluh – peluh, hingga akhirnya keluar
kalimat tauhid dengan begitu lirih dari mulutku “LAILAHA ILLALLAH....MUHAMMADUR
RASULULLAH”
Banda Aceh,................. ... setelah 2 hari, akhirnya L300 yang
ditumpangi 9 penumpang berhasil diangkat
oleh alat berat. Anehnya, tim SARS hanya menemukan seorang anak laki –laki
remaja yang memegang erat sebuah kado putih dengan wajah tersenyum tanpa
bernyawa, dari identitas korban tercantum bahwa namaya Muhammad Irham.
sedangkan korban lainnya masih dalam
pencarian. Kemungkinan besar para korban lainnya telah jatuh ke bawah jurang
yang begitu dalam.
Tangisan dan belasungkawa membuncah di rumah Pak Yasir dan Bu Fatimah.
Suasananya dipenuhi oleh kesedihan yang begitu dalam. Bu Fatimah terlihat
beberapa kali pingsan, sedangkan Pak Yasir termenung tanpa mengeluarkan sepatah
katapun. Almarhum telah dimandikan dan dikafankan, laul dibawa ke depan rumah
untuk di sembahyangkan. Tgk. Sulaiman, selaku imam gampong bertindak sebagai
imam dan memberikan sedikit tausiah. Beliau menyampaikan bahwa kita hanya
merencanakan, tetapi Allahlah yang menentukan.
“ apa bila datang ajal kamu, maka tidak terlambat sedikitpun dan tidak pula
terdahulu”.
Pak Yasir yang berdiri di depan jenazah menitikkan air mata ,
hatinya begitu tersentuh, apalagi ketika mengingat hanya sang ayahlah yang bisa
melepaskan bungkusan kado yang dipegang almarhum, peci putih buat ayah.
0 komentar:
Posting Komentar