Jumat, 11 Juli 2014

Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Islam (Analisis H.R Abū Bakrah)

ABSTRAK

Institusi           : STAI Al-Aziziyah Samalanga Kabupaten Bireuen
Nama/Nim       : Ubaidillah/10110038
Jurusan            : Syari’ah
Judul               : Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Islam
                          (Analisis H.R Abū Bakrah)
Pembimbing    : 1. Tgk. Marzuki, S.HI
                          2. Tgk. Fizazuawi, S.HI
Tahun Lulus    :2014
__________________________________________________________________

Seiring wanita mulai banyak yang terdidik, apalagi mereka yang telah banyak yang terpengaruh pemiiran liberal atau barat, dan munculnya istilah ”emansifasi wanita”, maka muncullah pemikiran-pemikiran yang dianggap diskriminatif terhadap gender, diantara pemikiran yang dikritisi adalah tentang tafsir ulang terhadap pandangan tentang kepemimpinan negara atau kepemimpinan tertinggi dalam sebuah negara, Beranjak dari uraian inilah, penulis lebih jauh ingin meneliti tentang  permasalahan kepemimpinan perempuan dalam perspektif islam dengan rumusan masalah bagaimana status H.R Abū Bakrah tentang kepemimpinan perempuan pada sebuah Negara, serta bagaimana kontekstualisasi H.R Abū Bakrah tentang kepemimpinan perempuan pada sebuah negara. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analisis yaitu penelitian terhadap suatu masalah yang ada pada masa sekarang dengan mengikuti penguraian, penafsiran, pencatatan dan analisa terhadap data yang ditemukan. Hasil penelitian menunjukkan status H.R Abū Bakrah adalah shahīh dan tidak seorang pun pakar hadis yang meraragukan tentang keshahihannya, berarti hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah, sedangkan menurut konteks H.R Abū Bakrah yang mayoritas ulama bependapat bahwa seorang wanita haram hukumnya memegang kepemimpinan pada sebuah Negara, karena hadis tersebut yang secara eksplisit melarangnya dan juga karena perbedaan karakter dasar yang ada pada kedua jenis antara pria dan wanita. Dalil lain yang mereka utarakan untuk menguatkan H.R Abū Bakrah ini adalah qawāid-qawāid Ushūliyyah dan ada juga nash Al-Qur’an, Ijmā’ dan Qiyās yang mendukung hadis ini.





BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Setelah penulis meguraikan panjang lebar tentang kepemimpinan perempuan dalam perspektif islam menurut H.R Abū Bakrah, maka sebagai akhir dari tulisan ini penulis ingin menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Hadis ini dari segi riwayat tidak seorang pun pakar hadis yang mempersoalkan kesahihannya, berarti hadis ini sangat kuat dijadikan sebagai hujjah.
2.      Hadis ini secara tegas menyatakan tidak sahnya seorang perempuan sebagai pemimpin (presiden) pada sebuah negara, dan suatu masyarakat atau bangsa yang mengangkat seorang perempuan sebagai pemimpin, maka tunggulah kehancuran masyarakat atau bangsa tersebut, baik dalam urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Ini adalah pendapat jumhūr ulama, di antaranya adalah tiga imām madzhab di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamā’ah yaitu Mālik, Al-Syāfi’ī dan Ahmad. Sementara Abū Hanīfah berpendapat boleh mengangkat wanita sebagai pemimpin dalam masalah hukum kecuali hukum-hukum had. Namun pendapat ini bertentangan dengan nash dalīl dan fitrah Rabbanī, sekalipun dia (wanita) memiliki kekuatan dan mendapat dukungan masyarakat, tetap mereka tidak akan bahagia/jaya dalam urusan duniawi maupun urusan agama.
B.  Saran
1.      Disarankan kepada masayarakat, agar senantiasa meningkatkan pengetahuan dan pengalaman agama dalam kehidupannya. Karena dengan mendalami pengetahuan agama akan dapat mengerti secara mendalam tentang hukum yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan.
2.      Disarankan pada para ulama agar lebih mengaktifkan upaya dakwah dan penyuluhan keagamaan kepada masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan, demi menghindari terjadinya kesalah pahaman praktek dalam kehidupan masyarakat.
3.      Karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis, maka dalam skripsi ini penulis hanya meneliti permasalahan status dan kontekstualisasi H.R Abū Bakrah tentang kepemimpinan perempuan pada sebuah negara, maka penulis sarankan kepada para pembaca untuk meneliti lebih jauh lagi tentang bagaimana status hukum seorang perempuan yang sudah dilantik  sebagai kepala Negara (presiden) ditinjau menurut konteks hadis tersebut. 

0 komentar:

Posting Komentar