Selasa, 12 Agustus 2014

EKSISTENSI MESJID DI ERA MODERN

EKSISTENSI MESJID DI ERA MODERN



A.    Latar Belakang Masalah
Mesjid merupakan kebutuhan umat islam dan memiliki sejarah yang panjang akan keberadaannya. Pengertian mesjid juga tidak terlepas dari masalah shalat dan tempat ibadah. Selain itu, mesjid juga merupakan tempat orang berkumpul dan melaksanakan shalat secara berjamaah dengan tujuan meningkatkan solidaritas dan silaturrahmi dikalangan kaum muslimin.
Dimasa Nabi saw ataupun sesudahnya, mesjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin. Kegiatan pemerintahpun yang mencakup ideology , politik, ekonomi, social, peradilan dan kemiliteran dibahas dan dipecahkan di lembaga mesjid. Mesjid berfungsi pula sebagai pusat pengembangan kebudayaan islam, terutama saat gedung-gedung khusus untuk itu belum di dirikan. Mesjid juga merupakan ajang halaqah atau diskusi, kegiatan perayaan hari-hari besar, kajian agama, ceramah dan belajar Al-quran sering di laksanakan dimesjid.
Ditinjau dari aspek agama, Aceh marupakan suatu daerah yang diberi keistimewaan dalam bidang agama, adat-istiadat dan budaya. Realita dan fakta membuktikan bahwa penduduk daerah Aceh merupakan punduduk yang mayoritas beragama islam dan memiliki mesjid sebagai tempat kegiatan agama. Eksistensi atau peranan mesjid di era modern ini sudah sedikit berbeda jika dibandingkan dengan eksistensi mesjid di era Rasulullah.
B.     Rumusan Masalah
             Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan permasalahannya  yaitu:
            Bagaimanakah Eksistensi Mesjid di Era Rasulullah dan Eksistensi Mesjid di Era Modern?

C.    Pembahasan
1)      Eksistensi Mesjid di Era Rasulullah
            Dalam sejarah perkembangan dakwah Rasulullah saw. Terutama dalam periode Madinah, eksistensi mesjid tidak hanya dimanfaatkan sebagai pusat ibadah yang bersifat mukhdhah/ khusus, seperti shalat, tetapi juga mempunyai peran sebagai berikut:                                                                                                                     
Ø    Dalam keadaan darurat, setelah mencapai tujuan hijrah di Madinah, beliau bukannya mendirikan benteng pertahanan untuk berjaga-jaga dari kemungkinan serangan musuh tetapi terlabih dahulu membangun mesjid;
Ø    Kader islam yaitu tahun Hijriyah dimulai dengan pendirian mesjid yang pertama, yaitu pada tanggal 12 Rabiul Awal, permulaan tahun Hijriyah selanjutnya jatuh pada tanggal 1 muharam;
Ø    Di mekah agama islam tumbuh dan di Madinah agama islam berkembang. Pada kurun pertama atau periode Makkiyah, nabi Muhammad saw mengajarkan dasar-dasar agama. Memasuki kurun kedua atau periode Madaniyah, Rasulullah saw manandai tapal batas itu dengan mendirikan mesjid;
Ø    Mesjid menghubungkan ikatan yang terdiri dari kelompok orang Muhajirin dan Anshar dengan satu ladasan keimanan kepada Allah swt; dan
Ø    Mesjid didirikan oleh orang-orang takwa secara bergotong royong untuk kemaslahatan bersama.
            Dalam masyarakat yang selalu berpacu dengan kemajuan zaman, dinamika mesjid-mesjid sekarang ini banyak yang menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Artinya, mesjid tidak hanya berperan sebagai tempat ibadah shalat, tetapi juga sebagai wadah beraneka kegiatan jamaah/ umat islam. Sebab, mesjid merupakan integritas dan identitas umat islam yang mencerminkan tata nilai keislamannya. Dengan demikian, peranan mesjid tidak hanya menitik beratkan pada pola aktivitas yang bersifat akhirat, tetapi memperpadukan antara aktivitas ukhrawi dan aktivitas duniawi. Pada zaman Rasulullah saw, mesjid secara garis besar mempunyai dau aspek kegiatan, yaitu:
1)      Sebagai pusat ibadah (shalat), dan
2)      Sebagai tempat pembinaan umat (poleksosbudmil).
            Di Era Rasulullah mesjid tidak hanya dijadikan sebagai sarana penyelenggaraan shalat, tetapi juga menjadi institusi social yang berperan dalam membangun pendidikan, ekonomi, dan politik umat. Oleh sebab itu, keberadaan mesjid pada era Rasulullah lebih tepat dikatakan sebagai institusi yang mambangun peradaban umat islam yang modern.
            Rasulullah mempraktikkan mesjid sebagai pusat pembinaan umat. Benang merah kemakmuran mesjid dirangkai dari pembinaannya yang insentif. Pada zaman rasul, mesjid senantiasa padat dengan kegiatan terutama shalat berjamaah. Setiap shalat diselenggarakan berjamaah, sehingga mesjid tidak pernah sepi dari kegiatan takwa. Jika akhir-akhir ini kita melihat wujud fisik yang bangunannya megah tetapi sunyi dari kegiatan, itu jelas merupakan penyimpangan fungsi yang keterlaluan.
  1. Eksistensi Mesjid di Era Modern
            Memasuki zaman keemasan islam, mesjid mengalami penyesuaian dan penyempurnaannya. Corak penyesesuaian dengan tuntutan zaman yang terjadi itu tidak kalah fungsionalnya dibandingkan optimalisasi nilai dan makna mesjid di zaman Rasulullah saw. Dalam perkembangannya yang terakhir, mesjid mulai memperhatikan kiprah operasional menuju keragaman dan kesempurnaan kegiatan. Pada garis besarnya, operasionalisasi mesjid menyangkut:
Ø  Aspek hissiyah (bangunan)
Ø  Aspek maknawiyah (tujuan); dan
Ø  Aspek ijtima’iyah (segala kegiatan)
            Dawasa ini umat islam terus–menerus mengupayakan pembangunan mesjid. Bermunculan mesjid-mesjid baru di berbagai tempat, di samping renovasi atas mesji-mesjid lama. Semangat mengupayakan pembangunan rumah-rumah Allah itu layak dibanggakan. Hampir diseluruh tanah air tidak ada yang tidak tersentuh oleh pembangunan mesjid, ada yang berukuran kecil tapi mungil, ada yang besar dan megah. Namun, tidak sedikit pula mesjid yang terkatung-katung pembangunannya dan tak kunjung rampung, terutama di daerah-daerah yang solidaritas jamaahnya belum kuat.
            Dalam menyelesaikan permasalahan social keagamaan, kita juga sudah sangat merasakan kemunduran peranan mesjid. Mesjid yang begitu banyak kita bangun hanya sebagai symbol ketimbang menjadi sarana untuk membangun umat. Bahkan, peranan mesjid begitu jauh terasing dari masalah umat. Jika dilihat dari data statistic Departemen Agama, pada tahun 1997-2004 ada peningkatan jumlah mesjid sampai 64 persen, dari 392.044 menjadi 643.834 buah. Rumah ibadah tersebut berada di tengah-tengah 182.083.594 jiwa umat islam Indonesia.
            Perbandingan rumah ibadah  dengan jumlah umat tersebut cukup representative. Tetapi,kenyataannya peranan rumah ibadah belum signifikan dalam mengakses permasalahan umatnya. Lemahnya peranan rumah ibadah dalam mengakses permasalahan umat memperpanjang catatan social keagamaan umat islam yang buruk di Negeri ini. Catatan social yang buruk itu dapat kita simak dari potret kemiskinan umat, budaya fatalisme, dan keterbelakangan sumber daya manusia. Semestinya rumah ibadah yang begitu banyak kita miliki itu menjadi aset dalam membangun umat. Sayang kata belum memontensikannya secara maksimal jika kita bandingkan dengan peradaban ketika era Rasulullah.
            Kekurangberdayaan “mesjid membina umat” terlihat nyata di mesjid yang tersebar di desa-desa. Suara azan saja terkadang belum dikumandangkan setiap waktu, apalagi waktu subuh. Di kota-kota, banyak mesjid yang megah indah dan strategis tempatnya tetapi jamaahya tidak lebih dari lima orang pada saat shalat subuh. Beberapa mesjid malah cuma berfungsi untuk shalat jum’at .
            Krisis peranan mesjid perlu dicermati sehingga mesjid tidak menjadi saksi bisu dalam ingar-bingar perubahan social umatnya. Mesjid perlu dilihat kembali sebagai agen transformasi umat dengan memperluas peranan dan fungsinya yang tidak lagi sebatas serambi shaf-shaf  yang kosong tanpa jamaah. Sudah saatnya mesjid direkontruksi sebagai institusi agama  yang modern yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang dapat memberdayakan umat dan tidak lagi sekedar sebagai sarana panyelenggara shalat. Oleh sebab itu, pengelolaan mesjid memerlukan manajemen yang professional dan mempunyai kegiatan yang inovativ.
            Antara mesjid dan teknologi modern tidak terpisah,tetapi dapat berkolaborasi dalam membangun umat yang melek pengetahuan. Sekaligus hal ini akan dapat menghapus stigma keterpisahan ajaran agama dengan dunia modern. Mungkin di Indonesia kita perlu menginovasi mesjid untuk menumbuhkan semangat baca dengan mendirikan perpustakaan mesjid yang dapat di akses oleh umat. Masalahnya, sarana-sarana yang menumbuhkan minat baca minim. Dengan demikian, tidak heran masyarakat kita mempunyai minat baca yang rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga.
            Mesjid yang tersebar di tengah-tengah umat islam ini sudah harus mengambil peranan sebagai sarana untuk mengatasi keterbelakangan umat dan harus dipikirkan sebagai basis gerakan membaca, seperti yang diperintahkan dalam Alquran dalam surat Al-Alaq. Perpustakaan perlu menjadi bagian penting di mesjid. Mesjid akan menjadi salah satu jembatan bagi umat dalam memanifestasikan hadis Rasulullah: tuntutlah ilmu dari ayunan sampai liang lahat.
            Dengan perpustakaan mesjid, permasalahan itu secara bertahap dapat dicairkan. Sudah saatnya rumah ibadah dijadikan pusat pencerdasan umat, baik pencerdasan agama maupun social.
  
D.    Kesimpulan
            Berdasarkan uraian pembahasan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pada aspek bangunan banyak mesjid yang berdiri dengan kemewahan dan keindahan. Namun, eksistensi atau peranan mesjid di era Modern sudah mengalami kemunduran jika dibandingkan dengan eksistensi di era Rasulullah. Dimana pada masa Rasulullah mesjid selain berperan sebagai tempat penyelenggaraan shalat, tetapi juga sebagai institusi yang membangun peradaban umat. Sedangkan pada era modern sekarang ini, banyak mesjid yang dibangun hanya sebagai symbol ketimbang menjadi sarana untuk membangun umat.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Moh E.Ayyub, Drs Muhsin Mk, H. Ramlan Mardjoned, Manajemen Masjid, Gema Insani Pers,Jakarta 1999

Silfai hanani, http://www.klikagama.blogspot.com, 2008/02/ Merekonstruksi-Mesjid/Demi Mencerdaskan,diakses pada tanggal 21 Maret 2008

www. Immesjid.co.id/ cetak. Php. Institute manajemen mesjid diakses pada tanggal 21 Maret 2008



0 komentar:

Posting Komentar