Jumat, 29 Agustus 2014

Peralihan Utang Piutang Antara Syafi'iyyah Dan Hukum Positif


ABSTRAK


Sudah menjadi sunnahtullah dalam kehidupan dunia ini manusia dituntut untuk saling bantu membantu antara satu dengan lain baik di bidang sosial, budaya atau lain sebagainya sebab manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang terus menurus dalam suatu daerah maka untuk kelangsungan hidup antara satu dengan lain perlu adanya saling bantu membantu sehingga tercipta suatu kehidupan yang harmonis dalam lingkungan masyarakat, dengan demikian salah satu unsur yang dapat membantu antara satu dengan lain adalah dengan menerima peraliahan utang yang dialihkan oleh orang yang berutang. Dari cuplikan diatas penulis cenderung memilih judul “ Peralihan Utang Piutang Antara Syaf’iah Dan Hukum Positif” sebab tujuan dari perlihan utang tersebut mengandung suatu solidaritas dan sosial sesama manusia, maka dasar demikianlah Islam dibolehkan untuk melakukan transaksi peralihan utang piutang asal memenuhi syarat dan rukunnya. Metode yang penulis gunakan dalam skipsi ini adalah deskriptif dengan kualitatif dan komperatif karena metode ini sangat cocok digunakan dalam membahas sikripsi ini, penulis dalam skripsi ini ingin mengambarkan secara  jelas mengenai perbandingan peralihan utang piutang antara Syafi’iah dan hukum positif sekaligus membahas tentang persamaan dan perbedan antara Syafi’iah dan hukum positif dan dasar hukum keduanya kemudian juga membahas sedikit hal-hal yang berhubungan atau berkaitan dengan peralihan utang piutang tersebut, dengan terwujudnya peralihan utang piutang maka timbullah suatu kebaikan yang dapat membantu antara satu dengan lain baik menurut Syafi’iah dan hukum positif.    

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hukum Islam merupakan syari’at samawi yang datang dari Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat, yang sifatnya universal, dan eksistensinya selalu bertujuan untuk ketentraman dan kebahagiaan  umat, baik di dunia maupun di akhirat. Mu’amalah termasuk salah satu hukum Islam yang sangat berperan dalam kehidupan umat dan hukum ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa menghambat gerak masyarakat modern
Dalam kehidupan sehari-hari terjadi berbagai peristiwa dan problematika yang semuanya tidak terlepas dari ketentuan dan aturan-aturan Islam, yang terkadang - kadang aturan tersebut masih minim dibahas oleh ahli hukum, sehingga di butuhkan pengkajian dan penelitian dari sumber hukum asli yakni Al-Quran dan Hadist untuk mengembangkannya demi kepentingan masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman dan jawaban terhadap berbagai macam masalah baru.
Mu’amalah sebagai satu disiplin ilmu yang dapat memecahkan masalah-masalah baru, menjadi pengarah dan penggerak hidup masyarakat dalam transaksi antar individu. Dan salah satu transaksi yang terus terjadi  demi lancarnya gerak kehidupan masyarakat sehari-hari adalah dalam bentuk peralihan utang piutang antara satu individu dengan individu lainnya.
Peralihan utang piutang dalam hukum Islam menempati lapangan pembahasan dan uraian yang luas, terutama dalam ekonomi masyarakat yang sudah maju dan berkembang dan muncullah berbagai jenis transaksi utang piutang yang dipratekkan  masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Pemberlakuan hukum Islam dalam sebuah Negara dan dalam hal ini hukum tentang utang piutang, seperti UU KUHP mengandung unsur kebaikan dan kemaslahatan. Disini akan terbina solidaritas sosial antar sesama atau saling membantu, sehingga tercipta stabilitas ekonomi dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang di inginkan dalam filosofi hukun Islam yakni nilai kemaslahatan umat  harus dikedepankan dalam setiap persoalan hokum.
Dalam konsep Syafi’iyah masalah peralihan utang piutang dibolehkan bila memenuhi beberapa kriteria seperti adanya persamaan jumlah utang, kesepakatan jenis, batas waktu pembayaran dan sebagainya. Sementara dalam UU KUHP pasal 1338 ayat 1, transaksi peralihan utang piutang tersebut mengandung unsur bunga, di mana kreditur waktu pembayaran kepada debitur harus lebih dari jumlah utang. Inilah yang menjadi catatan penulis sehingga membahas dan meneliti transaksi ekonomi, khususnya tentang peralihan utang piutang dalam konsep Syafi’iah dan Hukum Positif dengan judul Peralihan Utang Piutng Menurut Syafi’iah dan Hukum Positif.

B.  Rumusan masalah.
Dari penjelasan dan uraian di atas, penulis dapat merumuskan beberapa  masalah antara lain :
1.      Bagaimana sistem peralihan  utang piutang menurut Syafi’iyah dan Hukum Positif.
  1. Apa pengaruh hukum yang di timbulkan peralihan utang piutang terhadap orang lain.

B.      Tujuan Penelitian
            Yang menjadi tujuan penelitian yang ingin di capai dalam penelitian ini antara lain :
1.      Untuk mengetahui sistem peralihan utang piutang menurut Syafi’iyah dan hukum positif.
2.      Untuk mengetahui pengaruh yang di timbulkan transaksi peralihan utang piutang terhadap orang lain.

C.    Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami istilah-istilah yang ada dalam skripsi ini. Maka penulis merasa perlu untuk menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini. Adapun istilah tersebut yang perlu di berikan penjelasan adalah sebagai berikut : peralihan, utang piutang, Syafi’iah dan hukum positif.
  1. Peralihan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata” peralihan” berasal dari  “alih” yang berarti ; ganti; tukar; dan ubah; ditambah awalan “per”dan akhiran “an” menjadi ”peralihan” yang berarti pergantian; perlintasan (dari keadaan yang satu pada keadaan yang lain).[1]
            Jadi peralihan yang penulis maksudkan disini adalah pemindahan suatu tanggungan dari seseorang kepada orang lain atas kesepakatan atau persetujuan bersama.
  1. Utang- piutang
            Kata utang piutang termasuk kata majmu’k yang terdiri dari dua kata, yaitu ”utang” dan “piutang”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia utang mempunyai beberapa pengertian yaitu: Uang yang di pinjam dari orang lain kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima, sedangkan piutang adalah : uang yang dipinjam dari seseorang dan dipinjamkan kepada orang lain.[2]
  1. Syafi’iyah
Kata Syafi’iyah berasal dari kata Syafi’i yaitu nama salah seorang pendiri mazhab empat nama orangnya Muhammad bin Idris, kata Syafi’i ditambahkan dengan “ya nisbah” sehingga menjadi “Syafi’iah” yang berarti pengikut atau kelompok yang mengikuti imam Syafi’i.[3]
  1. Hukum Positif
Menurut Kansil hukum positif adalah : Hukum yang berlaku dalam suatu daerah tertentu, atau hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tampat tertentu.[4] Dalam Istilah Aneka Hukum di kata kan bahwa hukum positif adalah hukum yang berlaku pada waktu sekarang ini, untuk orang tertentu dan daerah tertentu pula.[5]
            Dengan demikian hukum positif adalah hukum yang berlaku di kalangan masyarakat tertentu dalam kehidupan sehari-hari, karena itu suatu masarakat yang mendiami suatu daerah mempunyai tata hukumnya tersendiri yang tidak dapat diubah-ubah oleh orang lain, mereka mematuhi dan menta’ati hukumnya masing-masing, barang siapa melanggar dari ketentuan tersebut akan mendapatkan sanksi atau hukuman.


D.    Metode Penelitian.
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, di mana deskriptif ini adalah mengacu pada uraian lebih jelas atau tentang sesuatu realita dalam narasi atau urutan peristiwa yang di lukiskan.[6]
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif artinya dengan pendekatan positivistic, umumnya lebih mendekatkan pada proses dari pada produk dengan objek penelitian.[7]
  1. Sumber Data
Sebagai sumber data yang di gunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal dari dua sumber yakni sumber primer dan skunder.
a.       Sumber data utama (primer) yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Mughni Al-Muhtaj karya Muhammad Syarbaini, Tufah karya Ibnu Hajar, Mahalli karya Jalaluddin.
b.      Sumber kedua (skunder) yang di gunakan adalah kitab Tanwirqulup karya Muhammad Amin dan buku-buku yang mempunyai relevansi dengan masalah ini seperti Figh Muamalah karya Muhammad, Garis-Garis Besar Figh karya Amir Syarifuddin, Istilah Aneka Hukum  karya Kansil Kristiani.
  1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, penulis akan menggunakan teknik telaah buku yang ada  berkaitan dengan masalah ini untuk menjawab pertanyaan yang dirumuskan dalam rumusan masalah.
  1. Komperatif Analisis
Komperatif analisis yaitu meneliti dan membandingkan antara dua masalah, penulis membandingkan utang piutang menurut  Syafi’iyah dan hukum positif  tentang  proses pelaksanaan peralihan utang piutang.
  1. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku Pedoman Penulis Karya Ilmiah Dan Transliteria Arab Latin yang di keluarkan oleh IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh pada tahun 2004. Adapun penulisan skripsi ini penulis berpedoman kepada Al-quran dan terjemahannya edisi Depertemen Agama RI 2003.
E.     Sistematika Pembahasan
Sebelun penulis menjelaskan lebih rinci dan mendetail dalam skripsi ini  perlu penulis memberikan gambaran secara umum (garis-garis besar pembahasan) lebih dahulu. Hal ini tentu untuk memudahkan para pembaca mengikuti bab demi bab secara berurutan (sestimatika).
Secara garis besar skripsi ini dibagi dalam empat bab yaitu :
Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian  sebagai faktor yang mendorong penulis untuk membahas judul tersebut, kemudian penulis menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam skripsi ini, selanjutnya diikuti dengan uraian tentang  metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, dan akhirnya diuraikan sismatikan pembahasan.
Bab dua berisi tentang konsep utang piutag. Dalam bab ini membahas pengertian utang-piutang, dasar hukum utang piutang, syarat-syarat, rukun utang-piutang dan hukum utang piutang.
Bab tiga menjelaskan peralihan utang-piutang, dalam bab ini terdiri dari sistem peralihan utang piutang, pengaruh peralihan utang piutang dan analisa penulis sebagai sumber hukum untuk meletakkan sesuatu pada posisinya.
Bab empat, merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini yang berisi tentang beberapa kesimpulan serta saran-saran sebagai pokok pikiran dalam rangka partisipasi penulis disegi pembinaan hukum di Negara Republik Indonesia.








                                                            BAB  II
KONSEP  UTANG PIUTANG



A.    Pengertian Utang Piutang


 
Secara lahiriah utang piutang hampir sama dengan pinjam meminjam. Unsur persamaan ini dapat di lihat dari beberapa sisi, antara lain: yang di miliki berupa manfaatnya, pada suatu saat akan di kembalikan pada pemiliknya, harga pembelian pada peralihan yang di tangguhkan dan punya hubungan dengan mu’amalah figh.
Utang piutang dalam terminologi figh di gunakan dua istilah yakni القرض  artinya : utang dan الدين artinya : utang.[8] Syarifuddin dalam Garis-Garis Besar Figh mendefinisikan utang piutang dengan penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang sama. Kata “penyerahan harta” disini mengandung arti pelepasan pemilikan hanya berlaku untuk sementara, dan yang diserahkan itu berupa menfaatnya.“Berbentuk uang” disini mengandung arti uang dan yang dinilai dengan uang. Dari pengertian ini dapat dibedakan dengan pinjam meminjam karena yang diserahkan adalah harta berbentuk barang. Kata “nilai yang sama” mengandung arti bahwa pengembalian dengan nilai yang bertambah tidak disebut utang  piutang, tetapi adalah usaha riba. Yang dikembalikan itu adalah nilai maksudnya bila yang dikembali wujudnya semula, ia termasuk pada pinjam-meminjam dan bukan utang- piutang.[9]

Bahkan Ibnu Hajar dalam kitabnya menjelaskan pengertian utang – piutang yaitu :
الاقراض هوالذي تمليك شئ برد بدله
Artinya :”Mengutangi adalah memberikan milik atau menyerahkan milik kepada orang lain dengan pengembalian yang sama”.[10]
Jalaluddin Mahalli juga memberikan pengertian utang-piutang hampir sama.
الاقراض هو تمليك الشيئ على ان يرد بدله
Artinya :“Memberikan sesuatu pada orang lain dengan mengembalikan gantinya”[11]
           
Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa bila seseorang berutang pada seseorang maka berhak mengembalikan dengan nilai yang sama. Seperti mengutang uang Rp. 2000 maka akan dibayar atau dikembalikan dengan nilai yang sama yaitu Rp. 2000 pula.[12]
Berdasarkan uraian di atas, utang piutang merupakan suatu kegiatan sosial antara satu individu dengan individu yang lain yang sangat dianjurkan dalam ketentuan agama Islam. Karena mengandung unsur saling membantu sesama manusia dan itu semua dapat menghilangkan beban orang lain. Dan sekaligus mengandung penekanan terhadap segi-segi proses interaksi sosial, di mana utang - piutang dapat menimbulkan rasa solidaritas sosial yang sangat mendalam serta dapat dikelompokkan pada solidaritas  material, yaitu ikut serta mengalami kesusahan yang diderita oleh sebagian anggota masyarakat. Oleh sebab itu maka timbullah rasa untuk membantu serta memperjuangkan kepentingan masyarakat sehingga lebih makmur.
Dengan demikian maka masyarakat dapat memikul tanggung jawab untuk melindungi anggotanya yang lemah dan memelihara kepentingan mereka, karena umat Islam yang satu dengan yang lainnya seperti satu jasad. Sehingga dapat merasakan perasaan orang yang lain. Artinya apabila ada satu tertimpa musibah maka seluruh anggota lainnya ikut merasakan pula. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW.
المؤمنون للمؤمنين كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه البخارى)
Artinya :”Orang - orang yang satu dengan mukmin lainnya itu ibarat satu bangunan yang saling kokoh - mengkokohkan antara satu bagian dengan bagian yang lain”. (H.R.Bukhari)[13]

Gambaran yang dijelaskan dalam hadits di atas adalah bahwa manusia tidak terlepas dari ketergantungan di antara sesamanya, sebagai konsekuensinya keberadaan mereka di tengah masyarakat saling memberi pelayanan sesamanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masing - masing.
Jadi di sinilah letak fungsi utang - piutang bagi manusia yang merupakan fasilitas utama dan salah satu faktor yang dapat menimbulkan hubungan kerja sama yang baik sesama muslim karena umat Islam yang satu dengan yang lain seperti tubuh yang satu.
Dari uraian dan definisi di atas tersirat secara konteks yaitu adanya perjanjian antara dua pihak yaitu : yang berutang ( داءين ) dan yang berpiutang ( مدين ).   
Menurut Subekti kata-kata “perjanjian” merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa itu timbul suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.[14]
Pasal 1233 KUHP perdata menentukan, bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.[15]
Dari pasal tersebut di atas jelaslah bahwa perikatan lebih luas dari persetujuan, sebab perikatan di samping dilahirkan kerena persetujuan juga terjadi karena ketentuan undang-undang.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kata-kata perjanjian sebagaimana yang digunakan oleh Subekti indentik dengan kata persetujuan yang terdapat dalam padal 1233 KUHP Perdata.
Dari sekian banyak perjanjian yang dilakukan oleh para pihak, maka ada perjanjian yang disanggupi oleh para pihak dan ada yang tidak disanggupi.
Jadi yang dimaksud dengan utang-piutang adalah : Perjanjian Pinjam-meminjam baik berupa uang maupun berupa barang-barang. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dinyatakan bahwa sifat dari perutangan merupakan salah satu bentuk pinjam-meminjam yang dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Tetapi mayoritas melakukannya secara tertulis yang tujuannya untuk menghindari kekeliruan dikemudian hari. Perjanjian dibuat oleh para pihak serta ditandatangani oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian dalam suatu penanggungan utang-piutang.
Dalam istilah utang-piutang terdiri dari dua pihak yaitu pihak yang memberi pinjaman atau piutang disebut dengan kreditur, jadi perjanjian utang-piutang terjadi setelah adanya kata sepakat antara dua belah pihak yaitu setelah terjadinya perjanjian, maka pihak kreditur menyerahkan uang atau benda yang telah disetujui untuk dipinjamkan sedangkan debitur (piminjam) wajib mengembalikan atau membayar kembali utangnya dalam janga waktu yang telah ditetapkan oleh para pihak tersebut.
Pada dasarnya objek perikatan perjanjian utang – piutang adalah berupa uang, dan perjanjian utang-piutang dapat dilakukan antara orang dengan orang atau antara orang dengan suatu badan hukum, misalnya Bank, Koperasi, Simpan-Pinajam atau dapat juga dilakukan antara suatu lembaga dengan lembaga lainnya, seperti suatu Yayasan dengan Yayasan lainnya atau Bank.
Perjanjian utang-piutang antara orang dengan suatu badan hukum, di buat secara tertulis serta ditanda tangani oleh kedua belah pihak disahkan atau dilegalisir dihadapan notaries.[16]
Namun demikian sistem utang-piutang dalam KUHP Perdata dikenal suatu sistim dengan istilah Privilage (utang uang diistimewakan). Menurut Subekti utang yang diberikan provilage terhadap barang-.barang tertentu adalah :
a.       Biaya-biaya perkara yang telah dikeluarkan untuk penyitaan suatu benda atau biaya eksekusi, harus diambil dari pendapatan biaya penjualan.
b.      Uang sewa dari benda yang tak bergerak beserta beserta ongkos-ongkos perbaikan yang dilakukan si pemilik rumah, tetapi yang seharusnya dipikul oleh si penyewa, pengalihan tentang uang sewa dan ongkos perbaikan ini mempunyai privilage terhadap barang-barang perabot rumah yang berada di dalamnya.
c.       Harga barang-barang bergerak yang belum dibayar oleh si pembeli jika barang tersebut disita, si penjual barang mendapat privilage atas hasil penjualan barang itu
d.                        Biaya - biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu benda, dapat diambil dari hasil penjualan benda tersebut apabila benda itu disita dan di jual,[17]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa utang yang diistimewakan dapat diambil biaya dari hasil penjualan suatu barang. Namun terhadap uang sewa pada benda yang tidak bergerak serta biaya perbaikan dapat diambil dari si pemilik barang tersebut.
Perjanjian utang - piutang merupakan perjanjian yang terbuka, dan merupakan perjanjian konsensuil, sebab dalam 1765 KUHP  Perdata tidak disebutkan bahwa pihak pertama mengikat dirinya untuk menyerahkan uang atau barang pada pihak lain. Jadi penyerahan uang yang disetujui dalam perjanjian utang-piutang merupakan hal yang penting untuk terjadinya suatu perjanjian, pada saat itu penyerahan uang atau barang secara nyata sejak saat itu pula terjadinya perjanjian utang-piutang.
Dari uraian yang telah diuraikan di atas dapat kita simpulkan, bahwa utang- piutang itu merupakan suatu hubungan hukum yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur, yang berhak atas suatu prestasi adalah kreditur dan debitur. Dan apabila si debitur lalai. Maka si kreditur dapat menuntut di debitur kepengadilan.


B.     Dasar Hukum Utang Piutang
            Setiap masalah yang muncul,baik masalah hadisah atau khadimah, ini tidak terlepas dari dalilnya adakala sifatnya umum atua khusus. Adapun mengenai utang piutang ada dalilnya secara umum seperti firman Allah dalam Surat Al-Hajji ayat 77:
وافعلوا الخير (الحج :  77)
Artinya :”kerjakanlah kebaikan”. (QS. Al.Hajj : 77)[18]
            Ayat di atas menganjurkan kita untuk berbuat kebaikan sesama insan, maka utang piutang merupakan salah satu transaksi kebaikan yang dapat membantu satu sama lain sekaligus pendapat fahala dari Allah SWT. Dan ada juga dalil yang khusus menganai utang piutang seprti hadist Rasullah SAW :
من اقرض مسلما درهما مرتين كان له كاجر صدقة مرة (رواه مسلم)
Artinya :”Barang siapa mengutangi satu dirham kepada orang seseorang muslim akan dua kali maka fahalanya seperti sedekah sekali”. (H.R.Muslim)[19]

Adapun firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282.
يأيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى اجل كاتبم مسمى فاكتبوهج وليكتب بينكم بالعدلج ولا يأب كاتب ان يكتب كما علمه اللهج فليكتب ولنملل الذى عليه الحق وليتق الله ربهج ولا يبخس منه شيئاج فإن كان الذى عليه الحق سفيها او ضعيفا اولايستطيع ان يمل هو فليملل وليه بالعدلج واستشهدوا شهيدين من رجالكمصلى من الشهداء فأن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ترضون ان تضل احداهما فتذكر إحداهما )الابقرة : 282(
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang - orang lelaki diantara kamu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki damn dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengikatnya.” (QS. Al-Baqarah : 282)[20]

Ayat di atas menerangkan kepada kita tentang langkah-langkah yang terbaik yang sepatutnya kita utamakan di saat sedang mengadakan transaksi utang piutang, agar transaksi utang-piutang yang sedang kita lakukan berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala bentuk persengketaan. Oleh karena itu Allah SWT menganjurkan kepada kita untuk menuliskan hal-hal yang dianggap penting dalam mengadakan transaksi Utang - Piutang, seperti jumlah utang, waktu pengembalian utang tersebut, agar tidak terjadi manipulasi (penipuan) antara satu pihak dengan pihak yang lain. Namun anjuran untuk penulisan utang-piutang yang terdapat dalam ayat di atas bukanlah bersifat wajib, seperti yang terdapat dalam anjuran shalat, puasa, sehingga bila kita tidak melakukannya akan berdausa, akan tetapi anjuran tersebut bersifat irsyad yaitu untuk mengajarkan kepada kita hal yang terbaik untuk kehiduapan kita.[21]
Perlu kita ketahui yang bahwa tidak semua anjuran atau perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an hanya bersifat wajib, sunad dan mubah, tetapi ada juga anjuran yang berbentuk taqwin, tahdid, dan lain-lain. Sehingga dalam Usul Fiqh, anjuran atau perintah punya 26 katagori, yaitu :[22]
  1. Wajib (واجب)
Suatu perintah atau anjuran baru bisa dikatagorikan kepada wajib apabila dalam anjuran tersebut tidak terdapat dalil, dalil yang akan mengarahkan anjuran seperti sunat, mubah dan sebagainya. Baik dalil tersebut bersifat haliah (situasi), maqaliah (perkataan), muttasil (menyatu dengan perintah), maupun munfasil (tidak meyatu dengan anjuran) karena pada dasarnya lafadh amar (anjuran) bila disebutkan secara muthlak akan bermakna wajib. Sebagaimana yang bisa kita pahami dari undang-undang Bahasa Arab.
اللفظ اذا اطلق يحمل على معناه الحقيق
Artinya :“Lafadh mutlak di gunakan pada makna hakiki”.[23]
Contoh lain Surat An-Nisa’ ayat 77 :
اقيموا الصلاة ... (النساء : 77)
Artinya :“Dirikanlah (wajib) shalat”. (QS. An - Nisa’)[24]
Maka anjuran ayat di atas adalah wajib karena tidak ada dalil yang mengarah kepada yang lain.
2.      Sunat (الندب)
            Anjuran sunat yang terdapat dalam Al-Qur’an banyak juga yang bersifat sunat. Namun untuk anjuran itu bisa dikatakan dengan sunat bila ada dalil-dalil tertentu yang dapat dijadikan tanda bahwa anjuran itu tidak lagi dikatagorikan wajib.[25]
Seperti anjuran yang terdapat Surat An-Nur ayat 33 :
فكاتبواهم ان علمتم فيهم خيرا (النور :۳۳)
Artinya :“Akad kitabah olehmu jika kamu ketahui pada mereka itu ada kebaikan”. (QS. An – Nur 33)[26]

Lafadh "فكاتبوا" yang tedapat dalam Surat di atas merupakan salah satu contoh lafadh amar yang tidak lagi dikatagorikan wajib karena sudah ada dalil yang mengarahkannya ke sunat, yaitu ijma’ para Ulama.

  1. Mubah  (الاباحة)   
Anjuran banyak sekali yang dapat dikatagorikan mubah, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sabda Nabi Muhammad SAW salah satu contoh anjuran yang dapat kita jadikan sebagai tanda bersifat Mubah yaitu anjuran yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2 :
واذا حللتم فاصطادوا   (المأدة :۲)
Artinya :”Apabila telah kamu tuntut halal maka burukan lah”. (QS. Al - Maidah 2)[27]
Amar diatas merupakan “Mubah” karena ijma’ para ulama tentang hukumnya tidak lagi bersifat wajib. Dan juga karena berdasarkan kaedah bahasa Arab :
الامر بعد الحظر يفيد الاباحه
Artinya:“Perintah sesudah haram (tegah) memberi faidah boleh(اباحة) [28]

Anjuran setalah terjadi larangan bermakna boleh.



  1. Tahdid ( التهديد )
Anjuran tahdid mengandung unsur menakutkan bahkan bisa-bisa haram seperti firman Allah dalam surat  Sajdah ayat 40 :
إعلموا ماشئتم  (حم السجدة : ۳٤)
Artinya :”Kerjakanlah apa saja yang kamu suka”. (QS. As – Sajdah : 40)[29]
Lafadh  "ما"merupakan nakirah mausufah yang cukupan maknanya sangat luas, pada hal banyak dalil yang lain yang melarang kita dari perbuatan-perbuatan tertentu. Maka anjuran di atas untuk menakutkan supaya jangan kita kerjakan apa saja kemauan kita.

  1. Taswiyah  (التسوية)
Bila ditinjau dari aspek meaning syer (tujuan pembicaraan) taswiyah berbeda dengan mubah. Karena tujuan sipembaca pada taswiyah adalah untuk menyatakan yang bahwa hukum yang tersedia antara dua masalah adalah sama sedangkan tujuan mubah adalah untuk menyuruh seseorang untuk memilih salah satu antara dua masalah, seperti yang terdapat pada surat Ath-Thur ayat 16 :
اصبروا اولا تصبروا (الطور : ۱٦)
Artinya :”Sabar lah atau jangan engkau sabar”. (QS. Ath – Thur : 12) [30]



  1. Takwin ( تكوين )        
Takwin adalah penciptaan sesuatu secara cepat, seperti yang terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 65 :
كونوا قردة ( البقرة : 65)
Artinya :”Adalah kamu sekalian yang rugi”. (QS. Al – Baqarah : 65)[31]

  1. Irsyad ( ارشاد )
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282 :
واستشهدو شهيدين من رجالكم (البقرة : 282)
Artinya :”Persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang diantara. (QS. Al –Baqarah : 282)[32]
Amar Irsyad pada dasarnya bila dilakukan tidak berpahala dan bila ditinggalkan tidak berdaosa. Karena tujuan amar Irsyad adalah untuk kemaslahatan kita di dunia. Namun bila kita melakukan perbuatan tersebut untuk menjungjung tinggi perintah Allah maka kita akan berpahala sebagaimana yang kita pahami dari Sabda Nabi Muhammad SAW :
إنما الاعمال بالنيات (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:”Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niat” (HR.Bukhar dan Muslim).[33]
  1. I z i n ( اذن )
Seperti anjuran yang terdapat pada kata-kata " ادخل" kepada orang yang sedang mengetuk pintu.[34]
  1. Takdib ( تأديب )
Seperti anjuran seorang ayah kepada anaknya yang masih kanak-kanak untuk mencuci tangan terdahulu sebelum makan. Anjuran tersebut bukanlah wajib tetapi untuk si anat terhadap akhlak yang mulai dan kebiasaan yang baik.[35]
  1. Inzar ( انزار )
Tujuan amar inzar adalah untuk menakuti, seseorang terhadap melakukan suatu perbuatan seperti anjuran yang terdapat pada surat Al-Ibrahim ayat 30 :
قل تمتعوا فاذ مصيركم الى النار (ابراهيم : 30)                                
Artinya :”katakanalah bersenang-senanglah kamu karena sesungguh nya tempat kembali ialah neraka” (QS. Al – Ibrahim : 30)[36]
  1. Imtinan ( امتـنان )
Anjuran imtinan adalah anjuran yang mengandung untuk bersenang seperti yang terdapat pada Surat Al-Maidah ayat 91 :
كلوا مما رزقكم الله (المائدة : 91)
Artinya :”Makanlah apa yang telah dirizkikan”.(QS. Al – Maidah : 91)[37]
12.  Ikram ( اكرام )
Seperti yang terdapat dalam Surat Al-Hijr ayat 46 :
أدخلوا سلام امنين ( الحجر : 46)
Artinya :”Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”.(QS. Al –Hijr : 46)[38]
Maksud dari anjuran diatas adalah bila kita masuk pada suatu tempa hendak lah memberi salam karena untuk di mukyakan.

  1. Imtihan ( امتهان )
Anjuran imtihan mengandung kehinaan seperti yangterdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 65 :
كنوا قردة خاسئين ( البقرة : 65)
Artinya :”Jadilah kamu kira yang hina”. (QS. Al – Baqarah : 6 )[39]

  1. Ta’kjiz ( تعجير )
Anjuran tersebut mengandung unsur kelemahan (tidak mampu mengerjakannya).
Seperti yang terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 23 :
فأتوا بسورة من مثله ( البقرة : 23)
Artinya :”Buatlah satu surat saja yang semisalnya Al-Quran”(QS. Al – Baqarah :23)[40]

  1. Ihanah ( اهانة )
Seperti yang terdapat pada Surat Ad-Dukhan ayat 49 :
ذق انك انت العزيز الكريم (الدخان : 49)
Artinya :“Rasakanlah sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Ad – Dukhan : 49) [41]

  1. Doa ( دعاء )
Seperti yang terdapat pada Surat Al-A’araf ayat 89 :
ربنا افتح بيننا وبين قومنا بالحق (الاعراف : 89)
Artinya :”Yatuhan kami berilah keputusan antara kami dan antara kaum kami dengan kebenaran (adil)”. (QS. Al – A’araf : 49)[42]

  1. Tamanni ( تمنى )
Seperti anjuran kepada teman kita untuk menjadi seorang yang berguna dimasa depan.[43]


  1. Ihtiqar ( احتـقار )
Seperti yang terjadi pada Surat Yunus ayat 80 :
القواها انتم ملقون ( يونس : 80)
Artinya :”Lemparlah apa yang hendak kamu lemparka” (QS.Yunus : 80 )[44] 
  1. Khabar ( خبر )
Sabda Nabi Muhammad SAW :
اذا لم تستع فاصنع ما شئت (رواه البخارى)
Artinya :“Apabila tidak engkau malu maka kerjakan apa saja yang kamu  ingin kan”. ( H.R. Bukhari )[45]

Anjuran di atas hanya mengandung pemberitahuan saja bukan diperintah kan untuk bekerja apa yang kita ingin kan.

  1. Tazkir Ni’mat  ( تذكر نعمة )
Seperti yang terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 57 :
كلوا من طيبات ما رزقنا كم ( البقرة : 57)
Artinya :”Makanlah apa yang baik apa saja yang telah kami rizkikan”. (QS. Al – Baqarah : 57)[46]

  1. Tafwidh ( تفويض )
Seperti yang terdapat pada Surat Tha-ha ayat 72 :
فاقض ما انت قاض ( طه : 72)
Artinya :”Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan”.(QS. Tha – ha : 72)[47]

  1. Takjub ( تعجب )
Seperti yang terdapat pada Surat Isra’i ayat 48 :
انظر كيف ضربوا لك الامثال (الاسراء : 48)
Artinya :"Lihatlah bagaimana mereka membuat perempuan-perempuan terhadapmu” (QS. Al – Isra’i : 48)[48]
  1. Takzib ( تكذيب )
Seperti yang terdapat pada Surat Ali - Imran  ayat 92 :
قل فاتوا بالتوراة فاتلوها ان كنتم صادقين (ال عمران : 93)
Artinya :"Maka bawalah taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang yang benar".  (QS. Al – Imran : 93)[49]

  1. Musyawarah ( مشورة )
Seperti yang terdapat pada Surat As - Saf ayat 102 :
فا نطر مازاترى (الصافت : 102)
Artinya :”Maka pikirlah apa pendapatmu” (QS. Ash – shaf  : 102)[50]

  1. Iktibar ( اعتبار )
Seperti yang terdapat pada Surat Al-An’am ayat 99 :

انظروا الى ثمره (الانعام : 99)

Artinya :”Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah” (QS. Al – An’am : 99).[51]

  1. Iradah Imtishal ( ارادة امتثال)
Seperti pada perkataan kita kepada teman kita disaat kita sedang lapar “berikanlah saya sedikit makanan”[52]
Berdasarkan dalil di atas dapat kita ketahui yang bahwa agama (syara’) sangat mendukung transaksi utang piutang yang terjadi antara dua belah pihak, karena selain mengandung unsur ibadah juga mengandung unsur sosial yang bisa menguatkan tali persaudaraan antar sesama manusia.
Bahkan Ibnu Umar pernah berkata :
الصدقة يكتب اجرما حين تصدق بها والقرض يكتب اجر ما دام عند المقترض
Artinya :”orang bersedekah diberi pahlanya ketika sedang bersedekah dan orang yang memberi utang diberikan pahlanya selama utang tersebut masih ada pada orang yang berutang".[53]


C.    Syarat dan Rukun Utang – Piutang
Utang - piutang itu dibolehkan asal memenuhi syarat dan rukunnya.
  1. Syarat utang - piutang
a.       Mukallaf.
b.      Ijab Kabul.
c.       Mubah.[54]
Disyaratkan bagi orang yang berutang dan berpiutang keduanya sudah mukallaf dan sah mengadakan transaksinya secara bebas, artinya orang yang memberi utang dan meminta utang tidak dalam tanggungan orang lain dan sah mengadakan perjanjian. Maka apabila anak - anak,orang gila, orang dalam keadaan pailit, mereka tidak boleh melakukan transaksi utng piutang.
Bagi kedua belah pihak, baik berutang maupun yang berpiutang harus jelas adanya persamaan - persamaan utang yang menjadi muhal, muhalalaih baik dalam jenisnya maupun dalam waktu membayar dan waktu penangguhan. Ijab kabul, sebagai syarat yang kedua bagi orang yang berutang dan yang berpiutang harus ada karena utang - piutang sama hukumnya dengan jual - beli.
Namun, sebagian ulama berpendapat dalam transaksi utang - piutang tidak ada syarat ijab Kabul, tetapi utang - piutang diperbolehkan dari orang yang ahli tabaru’ (orang yang punya hak untuk melakukan transaksi harta secara suka rela) dalam barang - barang yang sah dijadikan sebagai barang pesanan baik yang berupa binatang maupun lainnya, seperti uang emas / perak yang tidak murni.
Mubah, syarat yang terakhir ini bahwa utang - piutang hanya diperbolehkan untuk jalan kebaikan bukan untuk keperluan maksiat, dengan demikian yang boleh diberikan utang adalah pada yang baik dan mengandung unsur ketakwaan kepada Allah SWT atau setidak - tidaknya pada sesuatu yang dipandang mubah dalam ketentuan agama Islam.
  1. Rukun – Rukun Utang Piutang
Dalam menentukan sah tidaknya utang - piutang ditinjau dari sah tidaknya syarat- syarat dan rukun - rukunnya. Di antara rukun - rukun utang - piutang adalah sebagai berikut :
a.      Shighat
Shighat adalah lafadh ijab utang dengan mengucapkan kata - kata yang jelas (tertuju) untuk mengutangkan, misalnya  أقرضتك هذا(saya mengutangi ini untukmu) atau  اسلفتك هذا(saya mengutangi ini untukmu) atau  خذه بمثـله(Ambillah ini dengan menggantikan gantinya) atau ملكتكه على ان ترد له (Saya serahkan ini untukmu serta memberikan gantinya). Pada shighat yang terakhir ini tidak boleh disingkat dengan ملكتكه saja, karena secara dhahir shighat seperti ini digolongkan dalam shighat untuk hibah.[55]
Menurut pendapat mayoritas ulama disyaratkan pada utang harus ada qabul. Untuk dianggap sahnya qabul disyaratkan harus sesuai antara ijab dan kabul pada makna, sebagaimana halnya pada masalah jual - beli. Maka apabila dilafadh oleh muqridh (orang yang mengutangi). “Saya mengutangimu uang seribu” misalnya, dan diterima oleh muqtaridh (orang yang berutang) hanya dengan lima ratus, ataupun sebaliknya, maka hukumnya dengan tidak sah. Adapun utang yang hukmi, seperti memberi makan orang yang lapar, atau memberi pakaian orang telanjang, maka tidak membutuhkan kepada ijab maupun kabul.
b. Aqid (orang yang ber’akad)
Aqid ada dua, ada yang dinamakan dengan muqrid (orang yang mengutangi) dan ada yang dinamakan dengan Muqtariah (orang yang berutang).
Ketentuan Muqriah dia itu adalah orang yang ahli tabarro’ (orang yang boleh) pada barang yang akan dihutangi. Karena utang itu hampir sama kedudukannya dengan sedekah.
Seorang wali yang bukan qadhi tidak boleh baginya mengutangi milik mualiahnya (orang yang berada di bawah wilayah atau tanggungannya) tanpa ada kemudharatan, karena mualiyahnya bukan ahli tabarru’, berbeda halnya dengan qadhi, maka boleh baginya mengutangi milik mahjuralaih ataupun siapa saja yang berada dibawah wilayahnya  walaupun tanpa ada kemudharatan, karena qadhi disibukkan dengan tugasnya. Walaupun demikian, menurut As-Subki disyaratkan orang yang berutang adalah orang kaya dan amanah.
Sedangkan Muqtaridh, tidak disyaratkan baginya kecuali dia itu adalah ahli dalam hal transaksi. Dapat dipahami bahwa orang buta shah dalam hal berutang ataupun mengutangi. Namun tidak sah dalam hal serah terima (Qabadh).

c. Ma’kud Alaih (Barang )
Barang yang boleh (shah) diberikan utang adalah barang yang shah untuk di aqad dalam transaksi salam, keculi hamba sahaya yang halal watak bagi bagi orang yang berutang. Alasan shah pada barang yang disalam karena shah disebutkan barang tersebut dalam tanggungan. Tidak sah pada Hamba sahaya kerena, Muqtaridh kadang-kadang boleh mewatha’nya dan boleh juga mengembalikannya karena kedua-duanya adalah aqad yang jaiz (harus). Jadi disini sama pengertiannya dengan pinjaman ( (اعارة الجواريuntuk wathak padahal itu adalah hal yang sangat dilarang.
Dapat dipahami bahwa dirham maupun dinar yang sudah dicampurkan shah untuk diutangkan walaupun tidak diketahui kadar campurannya. Karena shah salam padanya, dari segi boleh transaksi dengannya dalam Zimmah (tanggungan)
Sedangkan barang-barang yang tidak boleh  atau shah akad salam seperti, hamba sahaya,  tidak boleh diutangkan, karena susuatu yang tidak ada patokan dan, dianggab o’zor dan sukar untuk membayarnya.

D.    Hukum Utang – Piutang
Adapun hukum memberikan utang kepada orang lain adalah sunat muakkad, karena transaksi utang-piutang tersebut dapat membantu penderitaan orang lain  Dalam agama sangat dianjurkan untuk saling bantu membantu antara satu sama lain sehingga dalam hal ini terciptanya solidaritas sosial, contoh lain yang sering kita dapatkan dalam kehidupan sehari hari seperti  mengarahkan orang yang telah sesat kepada jalan yang benar atau membantu orang yang telah musibah, baik dengan perbuatan atau dengan perkataan, maka hukum tersebut adalah sunat sebab  sesuatu yang kita kerjakan dapat bermanfa’at terhadap orang lain Syara’k (Allah dan Rasul) sangat merindukannya dan mecintainya. Dan adakalanya wajib seperti orang yang beruntung telah terjadi suatu ke Muzaratan, maka  kepada orang kaya wajib memberinya. Dan ada juga haram seperti berutang untuk mempergunakan pada maksiat atau haram.[56]





BAB III
PERALIHAN  UTANG  PIUTANG  MENURUT 
 SYAFI’IAH  DAN  HUKUM POSITIF

A. Pengertian.
Kata hiwalah berasal dari bahasa arab dan diambilkan dari Masdar tahaul تحول)) yang artinya intikal (perpindahan)[57]. Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa yanng di maksud dengan hiwalah adalah :                                  نقل الدين من زمة الي الزمة
Artinya :”Perpindahan dari suatu tempat kepada tempat yang lain”.[58] Sedangkan Muhammad Syatha Al-Dimyati berpendapat bahwa yang di maksud dengan hiwalah ialah :                                                                  عقد يقتضي انتقالي من زمة الى زمة 
Artinya : ”Aqad yang menetapkan perpindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”[59]
Taqiyuddin juga memberikan  pendapatnya tentang hiwalah  ialah :
انتقال الين من زمة الي زمة                                                    
Artinya :”perpindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.[60]Idris Ahmad memberikan definisi hiwalah yaitu semacam akad (ijab kabul) perpindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkanya.[61]
Said Sabiq mendefinisikan pula tentang hiwalah :
الحوالة ماخوزة التحويل بمعني الانتقال والمقصود ها هنا نقل الدين من زمة المحال الي زمة المحل عليه                                                
Artinya : Kata hiwalah diambil dari kata tahwil yang berarti intikal (berpindahan) yang di maksud di sini adalah perpindahan utang dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal’alih”.[62]
Menurut Ibnu Rusydi hiwalah ialah :
والحوالة معاملة صحيحة مستثناة ن الدين بالدين
Artinya : “Hiwalah ialah suatu perbuatan yang sah dan di kecualikan dari prinsip utang dengan (transaksi utang tidak kontan)”.[63]
Ibnu Hajar menjelaskan tentang hiwalah yaitu :
 عقد يقتضي نقل دين من زمة الى زمة
Artinya :”Aqad yang dituntut perpindahan tanggungan kepada orang lain”.[64]

Dari beberapa definisi diatas untuk terjadinya perpindahan tanggungan seseorang kepada orang lain dapat   disimpulkan  antara lain yaitu :
      1.            Adanya orang melakukan hiwalah yaitu muhil dimana ia ada berutang pada  seseorang dan ada memperutangkan pada orang lain kemudian melakukan peralihan  pada orang lain untuk membayar utangnya.
  1. Adanya orang yang berutang pada muhil yaitu muhal’alih (orang yang berutang  pada muhil).
  2. Adanya orang yang menerima hiwalah yaitu muhtal ( orang yang berutang pada     muhil).
      Dasar uraian diatas sesunguhnya hiwalah hampir sama dengan wasiat, dimana wasiat juga terjadi perpindahan tapi perpindahan yang terjadi pada wasiat berlaku sesudah meninggal sementara perpindahan yang terjadi pada hiwalah masih dalam keadaan hidup, maka  persamaannya antara hiwalah dengan wasiat adalah disegi perpindahan sedangkan perbedaannya kalau hiwalah berlaku masih hidup sedangkan wasiat berlaku sesudah mati. Dengan demikian pada seseorang manusia ada dua hal, pertama hal masih  hidup dan kedua hal sesudah mati, adapun hal masih hidup adalah hiwalah sedangkan hal sesudah mati ialah wasiat. Dari uraian diatas jelas Islam sangat menganjurkan kepada kita untuk berbuat dua hal tersebut sebab pada hal yang petama mengandung solidaritas yang mendalam dimana pada hal itu dapat membantu sesama manusia antara satu sama lain dan juga saling menghargai hak dan menjaganya bahkan bukan hanya demikian Islam menganjurkannya akan tetapi sesuatu yang mengandung kebaikan atau dapat membantu orang lain maka Islam sangat menganjurkannya seperti firman Allah yang terdapat dalam surat Al-Hajj ayat 77 :
وافعلوا الخير (الحج : ۷۷ )      
Artinya :”Kerjakanlah kebaikan”. (QS. Al-Hajj 77)[65] 
Dasar ayat tersebut  diatas dianjurkan pada kita sesema manusia antara satu dengan lain harus saling tolong menolong disaat temannya atau kawan mengalami suatu musibah seperti sempitnya ekonomi atau disebab kan pengaruh yang lain seperti ketakutan, kebakaran sehingga terjadilah suatu peralihan. Namun kalau kita perhatikan kondisi masyarakat sekarang baik kalangan atas, bawah maupun pertengahan banyak kita dapatkan mengenai peralihan utang piutang kadang kala hal tersebut disebabkan ekonominya kurang atau terjadinya ketakutan dan kebakaran lebih-lebih masyarakat dalam keadaan daerahnya terjadi komplik, dengan demikian masalah peralihan  suatu hal yang dalam berbuat kebaikan, baik kebaikan tersebut sifatnya perbutan atau perkataan bahkan dalam ayat yang lain seperti firman Allah dalan surat Al-Qashash ayat 77 :
وابتغ فيماء اتاك االله الدار الاخرة ولاتنس نصيك من الدنيا واحكسن مااحس الله اليك ولاتبغ الفساد في الارص ان الله لا يحب المفسينا (القصص: 77                                       (  
Artinya :”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadamu (kebaikan) negeri akhirat , dan janganlah kamu melupakan kebahagian dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik pada kamu dan janganlah kamu membuat kefasikan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang bebuat kerusuhan”[66](QS. Al-Qashash)
Sedangkan hal yang kedua Agama Islam juga menganjurkan pada manusia untuk melakukannya karena hal tersebut seseorang manusia menyambung suatu  kebaikan dunia dengan kebaikan akhirat artinya disaat hidup melakukan suatu kebaikan yaitu wasiat kemudian sesudah mati mendapatkan fahla atau kebaikan wasiat tersebut.[67] Soebekti dalam bukunya mengemukakan empat jenis wasiat antara lain :
      1.      Wasiat umum yaitu wasiat yamg dibuat suratnya dihadapan seseorang notaris  dan dihadiri oleh dua orang saksi.
      2.            Wasiat olographie adalah surat wasiat yang ditulis sendiri kemudian di simpan di  Kantor Notaris sampai membuatnya meninggal.
      3.      Wasiat rahasia yaitu surat wasiat dibiat sendiri atau orang lain dan disegel kemudian disimpam di Kantor Notaris dampaai membuatnya meninggal.
      4.            Codisil adalal suatu akte di bawah tangan yang isinya kurang penting dan merupakan pesan seseoarang setelah meninggal dunia.[68]
Dalam Islam memperbolehkan hiwalah atas dasar hadist Nabi SAW yaitu :
مطل الغنى ظلم فازا احيل احد كم علي ملى فليتبع ( رواه مسلم)
Artinya :”Menahan (tidak membayar utang) oleh orang yang kaya merupakan suatu kezaliman maka jika seorang kamu memindahkan atau kepada orang kaya hendak lah menerima nya”.(HR.Muslim)[69]
Dalam hadist diatas menjelaskan bahwa memperlambat pembayaran utang bagi orang kaya dan telah diminta mencapai tiga kali tapi tetap tidak melunasinya maka adalah dosa besar bahkan orang tersebut fasik akan tetapi jika tidak mencapai tiga kali (satu atau dua kali) mendapatkan dosa kecil maksudnya orang yang mampu membayar utang maka ia segera melunasi nya artinya wajib, sebaliknya orang yang tidak mampu membayar utang maka hendaklah ia menghiwalahkannya kepada orang lain. Disamping itu juga memerintah kan kepada seseorang untuk menerima hiwalah dari orang yang tidak mampu apabila dihiwalahkannya, dengan demikian haknya dapat terpenuhi untuk pembayaran utang tersebut.

      B.Syarat dan Rukun
Sahnya suatu hiwalah (peralihan) sangat di tentukan oleh beberapa syarat dan rukunnya.
Adapun syarat hiwalah yaitu :
1.  Rela pihak muhil dan muhtal tanpa muhal’alih pada  yang dihiwalahkannya.
2.    Kedua hak tersebut di ketahui dengan jelas.[70]
Berdasarkan syarat yang pertama  diatas dapat kita pahami yaitu tidak diperlukan  rela muhal’alih karena orang yang berutang (muhil) ingin melunasi haknya serimana yang dia kehendaki, dan muhal’alaih pada saat itu seperti pada posisi muhil, dengan demikian tidak membutuhkan kerelaan dari orang yang berkewajiban untuk membayar utangnya disebabkan pada muhal’alih ada hak muhil maka sah-sah saja mehiwalahkannya dan muhal’alih tidak boleh menolaknya.
Kata “rela” atau “sepakat” antara muhil dan muhtal terkandung suatu perjanjian di mana kreditur berkeinginan untuk pengambilan utangnya pada orang yang debitur mengutanginya, yang perjanjian tersebut tidak terlepas dari suatu perjanjian  yang di atur dalam pasal 1338 KUHP perdata yang menyatakan bahwa: ”semua perjanjian yang di buat dengan memenuhi syarat-syarat yang di tentukan oleh undang-undang mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”[71] Perjanjian tersebut berlaku juga untuk perjanjian umum maupun perjanjian khusus maka peralihan ini termasuk perjanjian yang khusus. Untuk sah suatu perjanjian di perlukan syarat-syarat tersebut karena suatu perjanjian yang di buat tidak sah maka perjanjian tersebut di anggap belum sempurna. Adapun syarat-syarat untuk adanya suatu perjanjian yang sah  telah di atur dalam pasal 1320 KUHP perdata yaitu :
a. Kata sepakat antara mereka yang mengikat dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.[72]
Ini merupakan hal yang penting dalam perjanjian karena sebelumnya ada kata sepakat, dan juga dalam perjanjian mengambil utang kata sepakat sangat di perlukan, sebab suatu perjanjian yang di buat harus memenuhi syarat yang di perlukan oleh undang-undang.
Kecakapan dalam melakukan suatu perbuatan hukum merupakan hal yang sangat penting, hal ini di perlukakan agar jangan di lakukan oleh orang – orang tidak mampu bertanggung jawab terhadap suatu hukum. UU KUHP perdata pasal 1330 menentukan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian yaitu :
a. Orang yang belum dewasa.
b. Mereka yang di taruh di bawah pengampuan.[73]
Yang di maksud orang yang belum dewasa adalah anak-anak dalam arti belum sampai umurnya dan orang tersebut masih dalam tanggungan orang tua dan walinya. Dalam hal ini penanggungan utang juga di perlukan kebebasan dalam membuat perjanjian, dalam perjanjian penangungan di perlukan kedewasaan baik debitur maupun penangung. Seandainya penanggung belum dewasa maka dalam melakukan perbutan hukum harus diwakili oleh orang tua atau wali. Apabila perjanjian penanggungan utang tidak di setujui olehnya maka perjanjian yang telah di lakukan itu dapat diminta pembatalannya. Jika terjadi kekeliruan dalam perjanjian penanggung utang akibat dari perbuatan anaknya maka orang tua atau wali harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatan tersebut. Demikian halnya dengan orang-orang yang diatur di bawah pengampuan, kalau terjadi suatu perjanjian di buat oleh orang yang masih berada di bawah pengampuan, maka perjanjian itu harus mewakili kuratornya untuk membuat perjanjian tersebut. Dalam hubungan ini Ny Sri Swodewi Masjdhoen Sofyan mengatakan “Onbekwanamheid terdapat apabila seseorang pada umumnya berdasarkan ketentuan  undang-undang tidak mampu membuat sendiri perjanjian dengan akibat yang lengkap, seperti orang yang belum cukup umur, orang yang di tempatkan di bawah kuratile”[74]
            Disini jelas bahwa segala perbuatan yang di lakukan oleh orang di bawah pengampuan untuk mengadakan perjanjian mengambil utang ini harus diwakili oleh kuratornya.  Akan tetapi ketentuan ini berlaku  terhadap perbuatan hukum secara umum pada perbuatan tertentu dalam kegiatan sehari hari. 
Sedangkan syarat yang kedua di atas mengambarkan  yang bahwa sah hiwalah (peralihan) apabila sama jumlahnya seperti 1 kg minyak dengan 1 kg minyak maka tidak sah setengah kg dengan satu kg, begitu pula sama jenis seperti emas dengan emas, perak dengan perak, dengan demikian tidak sah hiwalah emas dengan perak begitu juga sebaliknya kemudian sama waktu baik tunai atau tempo, sebab dalam perjanjian peralihan utang piutang biasanya para pihak menentukan batas waktu tertentu untuk memenuhi kewajiban dalam pembayaran utang piutang, karena pembayaran merupakan cara yang paling normal tentang hapusnya suatu utang dengan memenuhi suatu pembayaran, terutama pembayaran itu berupa utang misalnya berupa kwintasi, seterusnya mutu baik buruknya juga harus sama. Heri Saharoji mengatakan bahwa “Apa yang menjadi hak kreditur dan apa yang menjadi kewajiban debitur. Barang yang menjadi objek perjanjian harus di tentukan jenisnya. Tidak menjadi persoalan apabila orang itu sudah ada  di tangan debitur atau tidak”.[75] Dengan demikian pemberian jaminan kebendaan kepada kreditur tertentu berarti memberikan kreditur tersebut suatu privilege atau kedudukan istimewa .
Hiwalah dianggab tidak sah apabila utang yang di hiwalah belum jelas, maksudnya tidak diketahui sesuatu yang di hiwalah  sehingga baru sah hiwalah apabila sudah jelas diketahuinya. Dengan demikian maka muhtal tidak terjadi kekeliruan dalam mengambil utang pada muhal’alih, berdasarkan syarat ke tiga. undang-undang hukum KUHP Perdata menyebutkan bahwa “penyerahan akta utang piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya di lakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di limpahkan kepada orang lain”.[76]
            Berdasarkan isi pasal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa meskipun piutang dalam bentuk biasa maka harus ada surat/bukti yang bahwa utang tersebut di serahkan atau di limpahkan kepada pihak lain serta harus di dasari dengan akta otentik atau akta di bawah tangan pada ketentuan waktu yang telah di tetapkan. Penyerahan itu mempunyai akibat hukum apabila penyerahan utang-piutang di serahkan pada pihak yang ketiga dan pengalihan tersebut di akui oleh para pihak.
            Dalam peralihan utang-piutang undang-undang memberi hak kepada penanggungan atau penjamin, maka hak tersebut yaitu:
      1.            Hak untuk menuntut terlebih dahulu ( Voorerrecht van uining ).
      2.            Hak-hak membagi utang.
      3.            Hak tagihan hutang piutang.[77]
            Dalam hal ini pemberi (kredit) baru dapat menagih yang menjamin setelah ia terlebih dahulu tidak berhasil dalam usaha memperhitungkan nya dengan barang-barang miliknya yang berhutang, missalnya dengan cara eksekusi barang-barang, bila denga ini masih ada sisa utang yang belum di bayar maka baru dapat di laksanakan kepada penjamin
            Dalam penunjukan barang-barang itu hanya mengenai barang-barang yang masih bebas artinya tidak dapat dilakukan terhadap barang-barang yang sudah di bebani hak-hak lain nya, atau masih ada dalam persoalan.
Dasar hak kedua diatas (hak membagi utang) yaitu dalam hal ini terjadi bila mana terdapat beberapa orang penjamin, apabila mereka menghendaki menerima utang di bagi-bagi antara mereka, sehingga masing-masing di tagih untuk sebagian. Dalam masalah ini jika seorang penjamin tidak mampu atau miskin, maka penjamin yang di gugat itu harus membayar bagian teman nya itu. Sebaliknya jika pembagian pembayaran di lakukan oleh pihak kreditur atas kemauan sendiri, namun meskipun penjamin dalam keadaan tidak mampu, ia tetap terikat pada pembagian nya.
            Dalam praktek biasanya kedua hak ini oleh pemberi (kredit) di mintakan supaya di lepaskan, dan juga di cantumkan dalam surat perjanjian jaminan. Apabila penjamin telah memenuhi kewajibannya, maka ia mempunyai hak untuk menagih uangnya kembali pada debitur sejumlah uang yang telah di bayar kepada kreditur.
            Di samping itu penjamin mempunyai hak untuk mendapat ganti segala biayanya jika semuanya terjadi akibat membayar utang debitur. Menurut undang-undang apabila penjamin sudah membayar utang dibetur, maka ia akan menggantikan segala hak-hak dari kreditur. Pengambilan hak-hak ini dari kreditur oleh seorang penjamin yang telah membayar utang. Dengan demikian dalam dua hal penanggung utang kehilangan haknya untuk menagih kembali dari  dibetur apa yang telah di bayar kreditur, jika ia membayar utang dengan tidak memberitahukan kepada dibitur apa yang telah di bayarnya kepada kreditur, ini juga telah membayar utang sehingga debitur telah menerima pembayaran dua kali, jika pembayaran tidak di beritahukan kepada debitur, maka si debitur dapat menolak penagihan utangnya itu sehingga ia akan bebas dari pembayaran, kedua hal ini si penanggung berkewajiban dan berusaha sendiri untuk mendapat uangnya yang telah di bayarkan kepada kreditur.Menurut pasal 1843 KUHP Perdata menjelaskan bahwa, penanggungan dapat menuntut debitur untuk di berikan ganti rugi atau untuk di bebaskan dari perikatan nya bahkan sebelum membayar utang nya.                                                     
                  1. Digugat di muka hakim untuk membayar
                  2. Debitur telah berjanji untuk nenbebaskan diri penanggungannya dalam waktu  yang telah di tetapkan
                  3. Utangnya sudah dapat di tagih lewat jangka waktu yang telah di tetapkan untuk pembayaran
                  4. Setelah lewat masa waktu sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk mengakhirinya, apabila perikatan pokok sedemikian sifatnya sehingga ia tidak dapat mengakhiri sebelum lewat waktu-waktu tertentu, seperti suatu perwakilan.[78]
Sedangkan hak yang ketiga seringkali yang menjadi persoalan dalam pembagian warisan yaitu meninggalnya si pewaris harta, ia meninggalkan utang kepada ahli waris, artinya pada harta yang di tinggalkan oleh pewaris ada hak tagihan dan kewajiban untuk melunasinya pada keluarga yang di tinggalkannya. Sudah biasa terjadi dikalangan masyarakat sebelum jenazah dikebumikan pihak ahli waris mengatakan secara terbuka di hadapan  para peserta ta'ziah apabila ada utang dari almarhum agar si berpiutang dapat berhubungan dengan ahli waris almarhum. Segala perjanjian dapat di buat oleh pihak membutuhkan pelaksanaannya untuk mengikat diri dalam memenuhi suatu kewajiban, maka dalam hal ini sering kali di butuhkan suatu kewajiban untuk di penuhinya. Karena hal ini merupakan sifat perjanjian yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat, asalkan tidak bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam pasal 1320 KUHP perdata. Salah satu perjanjian yang dimaksud adalah hak tagih terhadap utang-piutang. Namun pada masa sekarang bukan tidak mungkin apabila seseoarang  meninggal tidak meninggalkan utang yang tidak sedikit jumlahnyan, baik yang bersifat individu maupun terhadap badan resmi, seperti bank atau badan pemerintahan. Begitu pula bukan tidak mungkin seseorang yang meninggal itu tidak mempunyai simpanan di Bank, Asuransi, serta tagihan dari orang lain, yang seharusnya diterima atau dipikul oleh para ahli waris. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka harta peninggala manakah yang seharusnya di perhitungkan untuk menjadi pembayaran utang-piutang  orang yang telah meninggal dunia. Menurut pasal 1100 KUHP perdata dinyatakan bahwa. "para ahli waris yang telah menerima warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah, wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang masing-masing dari warisan". Pasal tersebut menyatakan bahwa harta peniggalan almarhum sesudah tajhid dan membayar utang baru bisa membaginya, bahkan dalam mazhab Syafi’iah jika seseorang manusia meningagal maka harta peninggalannya tidak boleh dibagikan dulu tapi harta tersebut digunakan dulu untuk tajhid dan membayar segala utang baik uatang tersebut berkaitan dengan Allah seperti haji, zakat atau berkaitan dengan sesama manusia seperti pernaah mengutangi pada orang lain maka sesudah membayar segala utang sisa harta tersebut dibagikan, jika harta yang ditinggakan tidak mencukupi membayar seluruh utang artinya almarhum meninggalkan dua yaitu utang sesama manusia dan utang dengan Allah maka yang didahulukan adalah utang sesama manusia. Oleh karena itu harta warisan yang di gunakan dalam menyelesaikan hutang-piutang yang di tinggalkan oleh si pewaris adalah harta yang di tinggalkan oleh almarhum, sedangkan harta asal atau bawaan tidak dapat diperhitungkan untuk membayar  utang. Begitu pula patut di pertimbangkan jika keadaan ahli waris almarhum masih anak-anak ahli waris tidak mampu dalam memenuhi hak tagihan hutang, maka anggota ahli waris yang agak jauh harus ikut bertanggung jawab atas uatang yang di tinggalkan oleh orang yang telah meninggalgal dunia. Sebagaimana isi pasal 1101 yaitu :"Kewajiban melakukan pembayaran tersebut untuk dipikul secara perseorangan dan masing-masing menurut jumlah besarnya bagian satu dan lainnya dengan tidak mengurangi hak-hak para berpiutang dengan seluruh harta peninggalan selama harta itu belum terbagi dan tidak mengurangi pula hak-hak para berpiutang hypotik".[79]
Jadi pasal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa, utang si waris di tanggung oleh si ahli waris menurut besar bagian yang di dapat oleh si waris dengan syarat hak tagihan tersebut dilunasi dengan tidak mengurangi bagian ahli waris, maka jika kita perhatikan peraturan yang tedapat pada UU KUHP Pedata berbeda dengan Syafi’iah, dimana Syafi’iah mendahulukan membayar utang almarhum walau tidak ada sisa kepada ahli waris sedangkan UU KUHP pedata jika mengurangi hak ahli waris maka harta peninggalan tesebut tidak dibayarkan kepada kreditur.
Kemudian lebih tegas lagi dinyatakan dalam pasal 1104 yang isinya, "jika dari berbagai orang waris ada seorang yang jatuh dalam keadaan tidak mampu, maka bagian orang ini dalam utangnya hypotik, harus dipikul bersama-sama oleh semua kawan waris".[80]
Dalam pasal tersebut diatas dinyatakan bahwa, jika diantara para ahli waris ada yang tidak mampu dalam memenuhi hak tagihan utang, maka ahli waris yang lain harus ikut membantunya dalam memenuhi utang tersebut secara bersama-sama.
Jadi yang dimaksud dengan hak tagih utang piutang dapat dinyatakan bahwa hak utang-piutang yang harus dipenuhi oleh ahli waris menurut besar kecilnya bagian harta yang didapat oleh para ahli waris dan jika ada di antara ahli waris yang tidak mampu dalam memenuhi tagihan, maka para ahli waris yang lain dapat memikulkulnya secara bersama-sama.
Dalam perjanjian peralihan utang-piutang besarnya para pihak menentukan batas waktu tertentu untuk memenuhi kewajiban dalam hal pembayran utang piutang, karena pembayaran merupakan cara yang paling normal tentang hapusnya suatu perutangan dengan memenuhi suatu pembayaran, juga menjadi sebab untuk suatu tanda bukti yang sering diminta, terutama apabila pembayaran itu berupa uang, misalnya berupa kwitansi, pembayaran utang yang sering dilakukan oleh ahli waris yaitu, sebelum harta warisan dibagikan kepada ahliwaris yang mana pembayaran tersebut diambila dari harta yang ditinggalkan oleh almarhum. Hal tersebut dengan pasal 1382 KUHP perdata yaitu "tiap-tiap perkaitan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan, sepertinya seorang yang turut berutang atau seorang penaggung uang".[81]
Dari ketentuan pasal yang tersebut diatas jelaskan bahwa setaiap perikatan dapat dilakukan  oleh siapa saja yang ikut berkepentingan dalam pembayaran utang baik dari pihak penanggung, penjamin ataupun pihak ketiga yang brtindak atas namanya sendiri untuk melunasi utangnya dengan syarat tidak mengurangi hak-hak si berpiutang. Dalam segala perjanjian dibutuhkan pelaksanaan yang benar oleh pihak yang mengikatkan diri untuk memenuhi suatu kewajiaban, dalam hal ini yang dibutuhkan adalah suatu jaminan, yang mana suatu kewajiban dalam hal ini yang dibutuhkan adalah suatu jaminan, yang mana suatu kewajiban yang diperjanjikan betul-betul akan dipenuhi. Tapi karena sifat perjanjian memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, salah satu perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian pembayaran uang. Soebekti dalam bukunya mengemukakan beberapa perjanjian antara lain :
   a. Perjanjian kredik yaitu perjanjian meminjam uang denga atau tanpa bunga, barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai dengan nilai masing-masing pada saat yang telah disepakati.
b. Perjanjian kempitan adalah perjanjian menitip barang untuk menjual jangka wakyu tertuntu dikembalikan dalam bentuk uang atau barang.
c. Perjanjian tebasan yaitu untuk membeli hasil tumbuh-tumbuhan kelak pada saat panen.
d. Perjanjian perburuhan yang menjakup perjanjian kerja dengan upah atau tanpa upah.
e. Perjanjian panjer yaitu perjanjian unyuk melakukan sikap tindakan hukum tertentu kelak dikemudian hari.
f. Perjanjian serikat adalah perjanjian antara kelompok-kelompok tertentu untuk mengerjakan sesuatu atau tukar menukar barang.
g. Perjanjian pertanggungan sahabat ialah perjanjian untuk menanggung utang seseorang sahabat.
h. Perjanjian pemegangan yang merupakan perjanjian dimana diserahkan benda-benda tertentu sebagai jaminan”gadai”[82]
Perjanjian pembayaran utang boleh dilakukan dengan cara lisan maupun dengan cara tulisan, dan perjanjian tersebut mereka menyetujuinya serta tidak terlepas dari akibat hukum apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiabanya. Sebagaimana ketentuan pasal 1386 KUHP Perdata yaitu :”Pembayaran yang dengan i’tikat baik di lakukan kepada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah juga apabila surat piutang tersebut kemudian karena suatu penghukum untuk menyerahkannya kepada orang lain, diambil dari penguasaan orang tersebut”.
Dari isi pasal tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa pembayaran utang di lakukan kepada orang yang memegang surat piutang, serta di ketahui oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perikatan tersebut. Artinya pihak yang berutang dan pihak yang berpiutang serta penjamin utang tersebut mengetahui bahwa pembayaran telah di dakukan  kepada pihak yang memegang surat piutang dan cara tersebut sah menurut hukum. Dalam pembayaran tersebut apabila harta benda debitur tidak mencukupi untuk menulasi utangnya, barulah di tempuh dengan cara penyitaan dan penjualan harta benda si penjamin. Kalau seluruh utang debitur sudah di lunasi, maka si penjamin berhak meminta supaya di lakukan penyitaan dan penjualan terlebih dahulu kekayaan debitur.
Dari uraian yang telah disebutkan diatas maka terdapat persamaan dan perbedaan tentang pengalihan utang-piutang baik menurut Syafi’i maupun yang terdapat dalam hukum positif.
Persamaan yaitu utang-piutang itu dapat menimbulkan rasa solidaritas sosial yang sangat mendalam, yang di kelompokkan pada solidaritas dalam arti materia yang terduri pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, perasaan ikut serta mengalami kesusahan yang derita oleh sebagian.
Abbdulaziz di dalam bukunya mengemukakan syarat-syarat pihak pertma, kedua dan ketiga untuk sah suatu hiwalah serta berkaitan degan utang itu sendiri antara lain  syarat-syarat pihak pertama yaitu :
a.  Cakap melakukan tindakan Hukum Islam dalam bentuk aqad yaitu baliq, ber’aqal artinya hiwalah tidak sah jika di lakukan oleh anak-anak, meskipun ia mudah di mengerti ataupun di lakukan oleh orang gila.
b. Adanya pernyataan persetujuan antara muhil dan muhtal, jika pihak pertama di paksa untuk melakukan hiwalah maka aqad tersebut tidak sah.[83]
Adanya pensyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang keberatan dan terasa hina jika di alikan kepada orang lain meskipun orang lain berutang padanya, dengan adanya persetujuan antara muhil dan muhtal maka muhtal berhak mengambil uatang pada muhal’alih, dari syarat tersebut dapat kita lihat yang bahwa tidak boleh terjadi hiwalah pada harta peninggalan artinya terhadap muhil tidak boleh menghiwalahkan utangnya pada harta peninggalannya karena tidak ada muhal’alih dan pada harta tersebut merupakan hak ahli waris. Dalam persetujuan tersebut para pihak harus mempunyai i’tikat yang baik tidak mencari kesilapan orang lain untuk kepentingan diri sendiri, persetujuan yang dilakukan dapat memberikan manfaat kepada para pihak untuk melakukan suatu hal, demikian dibenarkan selama tidak bertentangan dengan undan-undang atau kesusilaan, dalam perjanjian peralihan utang piutang dilakukan secara jujur karena tujuan dari tindakan ini adalan untuk saling bantu membantu antara para pihak sehingga mareka merasa puas setiap kesepakatan yang dijanjikan.
Adapun syarat yang di perlukan pada pihak kedua yaitu :
a.    Cakap melakukan tinda hukum yaitu baliq, ber’aqal.
b. Adanya persetujuan pihak pertama kepada pihak kedua dalam menghiwalahkannya.[84]
Kemudian syarat pihak yang ketiga sebagai berikut :
a.  Cakap melakukan tindakan hukum yaitu berakal, baliq (sah jual beli) tidak  boleh orang gila, anak-anak masih dibawah.
b. Adanya persetujuan dari pihak ketiga dalam suatu majlis (tempat) aqad utang piutang, jika perpisah dalam aqad majlis (tempat) maka persetujuan antara pihak ketiga (muhal’alih) tidak diterimakan karena bisa terjadi manipulasi.[85]

Berdasarkan beberapa syarat diatas dapat di simpulkan bahwa bila salah satu syaratnya tidak terpenuhi hiwalahnya tidak sah karena setiap masalah yang berkaitan  sahnya pada syarat seperti shalat maka bila syarat tidak ada maka shalat tersebut tidak sah begitu juga dengan peralihan (hiwalah).
Ibrahim di dalam kitabnya menambahkan satu syarat lagi yaitu sesatu yang di hiwalakan telah ditetapkan dalam tanggungan muhal’alih, seperti mahar artinya yang belum dibayar, konsekuensinya menjadi utang terhadap isterinya, dengan demikian isteri sah menghiwalahkan utangnya pada suaminya.[86]
Adapun  rukun peralihan(hiwalah) utang piutang yaitu :
  1. Adanya pihak pertama yaitu muhil (orang yang berutang dan memberi utang).
  2. Adanya pihak kedua yaitu muhtal (orang yang memberi utang pada si muhil).
  3. Adanya pihak ketga artinya muhal’alih (orang yang berutang pada si muhil).
  4. Adanya utang muhtal pada muhil.
  5. Adanya utang muhil pada muhal’alih.
  6. Adanya pernyataan hiwalah (sighat) antara muhil dan muhtal.[87]

C.Sistem Peralihan Utang Piutang Menurut Syafi’i dan Hukum Positif.
Dari beberapa keterangan yang terdapat dalam nas (Al-Quran dan Hadist) dan ijma’ dan UU KUHP Perdata yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa peralihan utang piutang di bolehkan  berdasarkan syarat dan rukunnya. Adapun sistem peralihan utang piutang menurut Syafi’i adalah : orang yang berutang (muhil) rela kalau tanggungan di pindahkan kepada orang lain (muhal’alih) dan yang di serah tanggungan   (muhtal) menerima dengan baik. Dengan demikian muhil telah terlepas kewajiban membayar utang pada muhtal dan muhtal pun menerima menanggungnya maka yang berkewajiban melunasi utang muhtal ialah muhal’alih dan jika muhal’alih tidak membayar utang kepada muhtal sesudah tejadi hiwalah maka muhtal tidak boleh kembali lagi pada muhil. Sedangkan peralihan utang piutang menurut hukum positif adalah  di bolehkan asal tidak menentang dengan UU KUHP perdata, hal ini  biasanya terjadi  pada pembagian harta warisan di mana seseorang meninggal dan meninggalkan utangnya pada ahli waris artinya pada harta yang di tinggalkan oleh pewaris ada hak tagihan dan kewajiban untuk melunasinya pada keluarga yang ditinggalkannya.  Dalam hal ini utang pewaris diahlikan kepada ahli waris untuk melunasinya dengan ketentuan orang yang berutang membawa surat utang sebagaimana ketentuan tersebut diatas pada pasal 1366 KUHP perdata yang menyebutkan “pembayaran yang denga itikad baik di lakukan kepada seseorang yang memegang surat piutangnya  adalah sah juga apabila surat piutang tersebut kemudian karena suatu penghukum  untuk menyerahkannya kepada orang lain  di ambil dari penguasa orang tersebut”[88]
Bedasarkan dua sistim peralihan utang piutang di atas maka terdapat sisi persamaan dan perbedaan antara peralihan Syafi’iah dan hukum positif. Adapun sisi persamaan yaitu dapat menimbulkan rasa solidaritas sosial yang sangat mendalam, yang di kelompokkan pada solidaritas dalam arti material yang terdiri dari pemenuhan kebutuhan masyarakat perasaan ikut serta mengalami kesusahan yang diderita oleh sebagian anggota masyarakat, kesedihan membantu perjuangan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan standar hidup masyarakat dalam hal yang menguntungkan mereka dan juga sisi persamaannya sama jumlahnya, waktu, mutu baik buruknya suatu benda tersebut dalam terjadinya peralihan.
Sedangkan perbedaan tentang peralihan utang piutang menurut Syafi’ih dan hukum positif adalah mengenai pelaksanaannya, menurut hukum positif debitur wajib mebawa akta puitang di saat menuntut utang, sedangkan menurut Syafi’iah tidak tapi harus ada persetujuan antara debitur dan kreditur.

D. Pengaruh Peralihan Utang  Piutang
Apabila hiwalah (peralihan) berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur artinya terlepas dari membayar utang kepada muhtal sehingga andaikata  muhal’alih membantah atau meninggal dunia, maka muhtal tidak boleh lagi kembali kepada muhih karena muhil telah rela menghiwalahkan dan muhtal telah siap menerimanya walau tidak di ketahui terjadi ingkar terhadap muhal’alih
tapi kalau kita lihat pendapat  yang bukan mazhab Syafi’i seperti pendapat Maliki bila muhil telah menipu muhtal artinya di saat muhil menghiwalah kan muhal’alih terjadi fakir tidak mempunyai sesuatu apa pun sehingga tidak mampu untuk membayar utang muhtal yang telah di hiwalahkannya maka muhtal  boleh kembali lagi kepada muhil tetapi jika mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan belum membayar kewajiban  maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil, juga hal yang sama yang di utarakan oleh Abu Hanafiah, Syarih, dan Utsman.[89]
Dari asumsi di atas dapat kita gambarkan secara universal yang bahwa sesungguhnya pendapat Syafi’i berbeda denga pendapat yang lain di mana muhil terlepas kewajiban jika telah dihiwalah dan yang berhak membayar adalah muhal’alih sedangkan pendapat yang bukan Syafi’iah di bolehkan untuk kembali pada muhil jika seandainya muhal’alih menolak atau mengingkarinya.

D. Analisa
Dari uraian diatas penulis dapat menganalisa secara universal yang bahwa untuk dapat terlaksananya pengalihan hak utang-piutang diperlukan cara atau sistem tertentu, antara lain adanya perseseuaian utang, kesepakatan tentang jenis utang, banyaknya jumlah serta batas waktu pembayarannya. Mengenai peralihan utang-piutang antara Syaf’iah dan Hukum Positif terdapat perbedaan dan persamaan yaitu mengenai dasar hukum, Syafi’iah berpedoman pada Al-Qur'an dan Hadist, dan utang yang dibayarnya harus dengan jumlah yang sama, jenis dan waktu yang sama pula, sedangkan hukum positif berpedoman kepada KUHP Perdata, waktu pengambilan utangnya mengandung bunga. Sedangkan persamaannya bahwa pengalihan utang-piutang sangat besar faedahnya baik menurut Syafi’iah maupun hukum positif karena dapat membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan sekaligus dapat terlepas dari kemuzaratan yang dideritanya. Mayoritas ulama, berpendapat bahwa pengalihan hak utang-piutang adalah hukumnya boleh. Mereka berkhilaf pendapat tentang ini hanya berkisar pada masalah teknis nya sehingga ada ulama berpendapat yang bukan kalangan Syaf’iah jika muhal’alih menolak atau mengikari maka muhtal dibolehkan kembali pada muhil sedangkan Syafi’iah tidak.
Utang-piutang ditinjau menurut hukum positif dibolehkan dan merupakan suatu perjanjian pinjam-meminjam unsur ziadah seperti bunga bank. Sedangkan dalam Hukum islam tidak bisa dilebihkan akan tetapi berapa jumlah utang yang diambil maka maka pengembaliannya harus sama.
Peralihan utang-piutang dalam hukum positif harus disertai dengan surat otentik atau bukti yang bahwa suatu utang akan dialihkan atau dilimpahkan kepada pihak ketiga.






BAB EMPAT
PENUTUP
           
A. Kesimpulan
  1. Utang-piutang merupakan suatu protes,kegiatan yang terjadi secara timbal balik dalam kehidupan manusia baik indifidu dengan indifidu atau indifidu dengan hukum lain nya.
  2. Pengalihan utang-piutang suatu hal yang di bolehkan dalam syariat islam dan merupakan perbuatan sunnah karna mengandung unsur tolong-menolong serta dapat menghilangkan kemudaharataan dan kesulitan manusia.
  3. Para ulama telah sepakat bahwa, utang-piutang yang di lakukan pada perbuatan maksiat tidak di bolehkan artinya haram memberikan pertolongan pada perbuatan yang di larang oleh Allah SWT .

B. Saran - Saran.

  1. Hendaknya setiap orang yang melakukan transaksi pada utang-piutang harus memperhatikan segala ketentuan yang telah ditentukan oleh syara'k baik mengenai hukum maupun syarat-syaratnya.
  2. Setiap orang hendaknya meningkatkan ilmu pengetahuan dalam bidang kegamaan, khususnya mengenai pengalihan hak utang piutang.
  3. Bagi para ulama sebagai pemimpin ummat islam, hendaknya memberikan penjalasan-penjelasan tentang masalah hiwalah secara kontinu sehingga mereka dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyimpangan.
  4. Bagi para pedagang yang beragama Islam senantiasa dalam melakukan hiwalah utang-piutang selalu berpedoman kepada tatacara yang telah di gariskan oleh Agama Islam.
            Demikianlah beberapa kesimpulan dan saran-saran tentang pembahasan yang telah penulis kemukakan, semoga ada manfaatnya terutama sekali bagi penulis maupun para pembaca sekalian.







[1] Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005),  hal 42.
[2]  Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet 9, (Jakarta, Balai Pustaka, 1997), hal 25.

[3]  Ibrahim, Al-Bajuri, Jilid 1, (Jeddah, Al-Harmaini, t.t),  hal 2.
[4]  Kansil, Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1980), hal 71

                [5]  Kansil  Khristine, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta, Pusat Sinar Harapan, 2001), hal 1. 
[6]. Hasan Husen, Penuntun Penulisan, (Banda Aceh, Unsyiah, 1987), hal 12.
[7]. M.Nasir Budiman Dkk, Panduan Karya Tulis Ilmiah, (Banda Aceh, Ar-Raniry, 2004), hal 29.
[8]. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Cet 1, (Jakarta, Hida Karya, 1989), hal 133.

[9]. Amin Syarifsuddin, Garis - Garis Besar Figh, (Jakarta, Mizan, 2003), hal. 223.
[10]. Ibnu Hajar, Tufah, Jilid 5, (Jeddah, Al-Harmaini, t.t),  hal 36.
[11]. Jalaluddin Al – Mahalli, Al – Mahalli, Jilid 2, (Jeddah, Al-Harmaini, t.t), hal  257.
[12]. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet 1, (Jakarta, Mizan, 2000), hal 329.
[13]. Imam Bukhari, Shahih  Al - Bukhari, Cet 4, (Jakarta, Mizan, 2000), hal 85.
[14].  Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Intermasa, 1996), hal 122.
[15]. Subekti dan Tjitrosiudibio, Kitab Undang-undnag Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1986), hal 291.
[16].Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, Penyuluhan Hukum ke 5 tentang Utang-Piutang dan Jaminannya,Ed.2, (Jakarta, 1983), hal. 7.
[17]. Subekti, Pokok - Pokok Hukum Perdata, Cet 1, Jakarta, Mizan, 2001 hal 89.
[18]. Depertemen Agama, Al-Quran dan Terjemahaan , (Bandung Ponogoro, 2003), hal 37.
[19]. Imam Muslim, Shahih Muslim, Cet 1, (Jakarta, Mizan, 2005), hal 234.
[20]. Depertemen Agama, …hal. 37.
[21]. Jalaluddin Al- Mahalli, Tafsir Jalalain, Jilid 1, (Jeddah, t.t), hal. 179.
[22]. Ahmad Abdullatif, Nufahat Syarah Warkat, (Surabaya, Syirkah Maluku Indah, t.t), hal. 68.
[23]. Ibid, hal  52.
[24]. Depertemen Agama, … hal 272.
[25]. Ahmad Abdullatif, … hal 53.
[26].  Depertemen Agama, …  hal 85.
[27]. Ibid, hal 65.
[28]. Ahmad Abdullatif, … hal 52.

[29]. Depertemen Agama, … hal 58.
[30]. Ibid, hal 418.
[31]. Ibid,  hal 564.
[32]. Ibid, hal 37.
[33]. Imam Bukhari dan Muslim, Shahih  Bukhar dan  Muslimi, Cet 2, (Jeddah, t.t), hal 85.
[34]. Ahmad Abdullatif, …hal.52.
[35]. Ibid.
[36]. Depertemen Agama,…hal 206.

[37]. Ibid, hal 98.
[38]. Ibid, hal 211.
[39]. Ibid, hal 96.
[40]. Ibid, hal 5.
[41]. Ibid, hal 397.
[42]. Ibid, hal 129.
[43]. Ahmad Abdullatif, …hal 52.
[44]. Depertemen Agama, … hal 174.
[45]. Imam Bukhari, … hal  285.
[46]. Depertemen Agama, … hal  11.
[47]. Ibid, hal 252.
[48]. Ibid, hal 229.
[49]. Ibid, hal 49.
[50]. Ibid, hal 359.
[51]. Ibid, hal 111.
[52]. Ahmad Abdullatif, … hal 53.
[53]. Jalaluddin Al - Mahalli,… hal. 257.
[54]. Zainuddin, Terjemahan Fathulmu’in, Jilid 2, (Jakarta, Menara Kudus,1980), hal. 29.
[55]. Muhammad Syarbaini, Mughni Muhtaj, jilid 2, (Jeddah, Al-Harmaini, t.t),  hal.117.
[56]. Muhamamd Amin, Tanwir Qulub, Jilid 2, (Jeddah,Al-Harmaini, t.t),  hal 274.
[57]. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Cet 1, (Jakarta, Hida Karya, 1989), hal 466.
[58]. Hendi Suhendi, Figh Muamalah, (Jakarta, Mizan, 2003), hal 100.
[59]. Ibid.
[60]. Ibid, hal 101.
[61]. Hendi Suhendi,…hal 42.
[62]. Ibid.
[63]. Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Cet 1, jilid 7, (Jakarta, Bulan Bintang), hal 124.
[64]. Ibnu Hajar, Tufah, Jilid 5, (Jeddah, Al-Harmaini, t.t),  hal 226.
[65]. Depertemen Agama, Al-Quran dan Terjemahaan , (Bandung Ponogoro, 2003), hal 313.




[66] . Depertemen Agama,...hal 315.
[67]. Zakaria Ansari,Tahrir, Jilid 2, (Jeddah, Al-Hidyah, t.t),  hal 150.
[68]. Soebekti, Pengantar Hukum Islam. Cet 9, (Jakarta, Raja Grafindo persada, 2003), ha152.
[69]. Imam Muslim, Ringkasan Shahih Muslim, Cet 1, (Jakarta, Mizan, 2005), hal 456.
[70]. Muhammad Syarbaini, Mughni Muhtaj, jilid 2, (Jeddah, Al-Harmaini, t.t),  hal 246.

[71]. Subekti dan Tjitrosiudibio, Kitab Undang-undnag Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1986), hal 291.
[72]. Soebekti,… hal 149.
[73]. Suobekti dan Tijitrosudibio,…hal 321.
[74]. Ny sri Swodewi Masjdhoen sofwan, Hukum Perdata Perutangan, (Yokyakarta, Gajah Mada, 1975), hal 26.
[75]. Heri Saharoji, Pokok - Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Aksara Baru) , 1980, hal 91.
[76]. Subekti dan Tjitrosudibio,…hal 321.
[77]. Ibid.
[78]. Subekti dan Tjitrosiudibio, rosudibio,… hal 351.
[79]. Subekti dan Tjitrosiudibio,... hal 124.


[80]. Ibid.
[81]. Ibid

[82]. Soebekti,...hal  150.



[83]. Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet 1, Jilid 6, (Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoave, 1996), hal 46.
[84]. Ibid.
[85]. Ibid.
[86]. Ibrahim, Al-Bajuri, Jilid 1, (Jeddah, Al-Harmaini, t.t),  hal 377.
[87]. Muhammad Syarbaini,...hal 613.

[88]. Soebakti dan Tjitrosudibio,…hal 213.

[89] . Hendi Suhendi,... hal 103.


0 komentar:

Posting Komentar