Rabu, 27 Agustus 2014

LEGALITAS PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DAN PERAN SOSIALISATOR (Studi Kasus Pondok Pesantren Markaz Al-Islah Al-Aziziah)


ABSTRAK

Semenjak abad 16 pada masa kejayaannya dunia pesantren atau dayah telah di kenal sebagai lembaga pendidikan islam berbasis masyarakat, hal tersebut dapat kita lihat dari proses penyiaran ajaran agama islam di Asia Tenggara dimana dunia pesantren memainkan peran yang sangat penting. Juga pada saat penjajahan kolonial belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial belanda bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (hasbullah, 1999:141). Dalam konteks kekinian Aceh, perjalan penerapan syari’at islam secara kaffah juga menjadi sebuah isu politik, seperti terjadinya kontradiksi dengan kelompok-kelompok sosial di Aceh yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang (approach) terhadap isu syari’at islam, Hal tersebutlah yang membuat pesantren di Aceh tidak dapat menentukan sikap yang jelas seperti sikap mereka pada waktu melawan penjajah Belanda sebagaimana yang telah tercatat dalam sejarah, mengenai bagaimana meredam konflik dan bersikap dalam penerapan syari’at islam di Aceh.
Sungguh kompleks kalau kita ingin membicarakan syari’at islam yang sebenarnya dalam konteks kekinian Aceh. Sehingga pondok pesantren Markaz Al-Islah Al-aziziah lebih memilih jalan tengah dalam proses penerapan syari’at islam antara agama dan pemerintah secara seimbang. Seperti sebuah qaedah dalam ilmu fiqh ”menolak kefasidan lebih diutamakan daripada kita menerima kemaslahatan yang ada padanya”.
Pondok Pesantren Markaz Al-Islah juga sangat berperan dalam penerapan syari’at islam melalui 2 cara, yaitu :
1.      Dakwah Bil Hal Dan Bil Maqal
dakwah bil hal adalah dakwah melalui perbuatan dan tingkah laku, sementara dakwah bil maqal adalah dakwah melalui lisan
2.      Jalur Diplomasi
Berbekal jiwa aktifis, Tgk. H. Tu. Bulqaini termasuk salah seorang yang vokal dan aktif dalam mengaspirasikan penerapan syari’at islam dalam forum-forum yang dihadirinya, baik formal maupun in-formal.

                                                               BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai salah satu aspirasi pesantren, syari’at islam telah mulai menggeliat di aceh sebagai  sebuah upaya penyelesaian kemelut yang di mulai tahun 1953 oleh pemerintah akibat terjadinya pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh dengan dikeluarkannya SK perdana mentri RI No. 1/missi/59 tentang keistimewaan aceh (A. Basiq Djalil:2006:163), Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh  sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,  hingga pembentukan Qanun tahun 2004. lebih lanjut A. Basiq djalil (2006:171) juga mengungkapkan tentang pasal 49 qanun provinsi NAD No. 10 tahun 2002 tentang syari,at islam: ”inilah pasal yang sangat ditakuti atau tidak disukai oleh umat nasrani dan muslim abangan Indonesia, sehingga dengan berbagai cara berusaha agar hukum islam tidak berlaku di Indonesia”.
Menurut data yang dimiliki Departemen Agama Aceh, ada 879 dayah diseluruh Aceh, namun Dayah Markaz Al-Islah Al-Aziziah merupakan satu-satunya dayah yang khusus untuk anak-anak korban konflik.
Dalam konteks Aceh, Pondok Pesantren Markaz Al-Islah berada di poros tengah antara keagamaan dan pemerintahan dengan pertimbangan politis yang berimbang, juga sangat berperan dalam penerapan syari’at islam melalui 2 cara, yaitu :
1.      Dakwah Bil Hal Dan Bil Maqal
dakwah bil hal adalah dakwah melalui perbuatan dan tingkah laku, sementara dakwah bil maqal adalah dakwah melalui lisan, seperti pengajian dan dakwah”pidato”.
2.      Jalur Diplomasi
Berbekal jiwa aktifis, Tgk. H. Tu. Bulqaini termasuk salah seorang yang vokal dan aktif dalam mengaspirasikan penerapan syari’at islam dalam forum-forum yang dihadirinya sebagai perwakilan Pondok Pesantren Markaz Al-Islah, baik formal maupun in-formal.
B. Saran-Saran
            Dalam kesempatan ini penulis sangat menyarankan adanya langkah terpadu dari Pemerintah Aceh, yaitu : soaialisasi (prefentif), pencegahan agar tidak terjadi (prehensif) dan pemberian hukuman atau denda (represif) tanpa pandang bulu bagi yang melanggar hukum atau qanun, dan dengan memperhatikan keterbatasan ilmu yang penulis miliki, penulis sangat mengharapkan kritikan membangun demi pengembangan khazanah keilmuan dan kesempurnaan dalam menulis terhadap karya tulis ilmiah ini. Dan harapan penulis adanya penelitian dari para peneliti lainnya tetntang syari’at islam Aceh secara objektif dan faktual untuk dijadikan sebagai masukan terhadap Pemerintah Provinsi NAD agar adanya perubahan kebijakan kearah yang lebih aspiratif dan lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar