Kamis, 28 Agustus 2014

KAJIAN TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF SYARI’AH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004


ABSTRAK

            Dalam kehidupan rumah tangga, Islam telah menetapkan akan hak dan kewajiban suami istri berdasarkan kodratnya masing-masing. Sudah seharusnya antara suami istri salig mencintai, menghormati setia dan saling memberi bantuan kepada pasangannya. Begitu juga kasih sayang itu harus dilimpahkan kepada anak-anak orang tua dan siapa saja yang ada dalam lingkup keluarga. Hal itu bukan berarti bahwa keluarga akan berjalan dengan mulus dan tanpa hambatan. Sebuah rumah tangga yang terbentuk oleh perkawinan pasti mengalami masa-masa yang sulit. Antara suami istri saling mencurigai, kurangnya kepercayaan, kurangnya kasih sayang disebabkan oleh seribu alasan. Hal itu perlu adanya kesabaran, usaha da kejelasan dari berbagai pihak untuk mempertahankan keluarganya.
            Namun tidak jarang masalah sebagaimana tersebut di atas sering menjurus kepada kekerasan. Karena ada pihak-pihak yang tidak sabar dan tidak bertanggung jawab dalam keluarga yang menganggap bahwa kekerasan itu akan menyelesaian semua permasalahan. Padahal kekerasan itu malah mendatangkan berbagai permaswalahan yang baru. Persoalan kekerasan dalam keluarga adalah bertetangan dengan syari’ah Islam dan Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang berusaha menghapus segala bentuk kekerasan dalam keluarga.
Oleh karena itu penulis tertarik meneliti dan menulis skripsi mengenai upaya-upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dalm perspektif syari’ah dan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: (1) untuk mengetahui upaya-upaya preventif dan repressif terhadap tindak kekerasan dalam keluarga menurut hukum Islam, (2) untuk mengetahui bagaimana prosedur penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga menurut undang-undang nomor 23 tahun 2004.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut penulis mencari jawaban menggunakan ketentuan hukum, baik yang terkandung dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004, al-Qur’an, al-Hadits, serta kitab-kitab fikih dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan permasalah yang penulis bahas.
Metode penulisan yang digunakan adalah penelitian kualitatif yakni suatu studi kepustakaan tentang upaya penhapusan kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif syari’ah dan undang-udang nomor 23 tahun 2004. kemudian pegumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan. Secara murni yang bersumber dari buku-buku bahan pustaka, majalah dan sumber lain yang merupakan sumber primer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya upaya-upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga walaupun tidak tegas sebagaimana yang diatur dalam undang nomor 23 tahun 2004.
Dan sebagai penutup, penulis menyarankan adanya sosialisasi dari pihak yang berwenang sepeti pemerintah, ulama, dan pihak yang berwajib lainnya serta instansi-instansi lainnya. Hal itu dilakukan untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan hukuman kepada setiap pelakunya.


 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
           Dalam suatu kehidupan rumah tangga tidak bisa terlepas dari berbagai macam problema yang melanda. Dan memang sebuah hal yang wajar dalam perkawinan apabila timbul perbedaan pendapat, keinginan antara suami maupun istri. Tapi kadang-kadang hal seperti itu bisa mengarah pada pertengkaran. Masalah inilah yang dapat menjerumuskan kedua belah pihak sehingga masalah kecil menjadi besar dan berakibat pada ketidakcocokan dan timbulnya keretakan dalam rumah tangga.
Dalam kehidupan masyarakat tradisional perkawinan (rumah tangga) merupakan area tertutup, sehingga mereka berkeyakinan bahwa jika membicarakan masalah yang terjadi dalam rumah tangga adalah sebuah aib yang sangat memalukan untuk dibicarakan di depan umum. Seperti halnya dengan masalah kekerasan perkawinan, termasuk (marital rape) yang dilakukan suami terhadap istrinya yang sekarang sudah menjadi isu publik yang telah mengundang perhatian banyak kalangan termasuk pemerintah dan media massa. Begitu pula kekerasan isteri terhadap suami, termasuk juga dengan anaknya ataupun mereka yang hidup dalam rumah tangga tersebut.
Misalnya saja apa yang termuat dalam berita harian ”Kompas”[1], di Rifka Annisa Women Crisis Center, Yogyakarta, tercatat 234 kasus kekerasan terhadap istri yang diajukan ke pengadilan yang terjadi pada tahun 2001. Dan pada tahun 2002 telah terjadi sebanyak 124 kasus kekerasan terhadap istri.
Kemudian dalam sebuah pemberitaan pada koran Jawa Pos tanggal 16 April 2003, halaman 6 dicantumkan bahwa seorang suami tega menusuk istrinya dengan pisau yang juga sempat mengenai anaknya gara-gara istrinya tidak konsen terhadap keinginan biologis suaminya.
Islam mengajarkan prinsip mu'asyarah bil ma'ruf (hubungan yang baik dan sukarela) dalam melakukan relasi seksual. Antara suami dan istri harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan kebencian, dan tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya masing-masing (KH. Husein Muhammad, 2001:112). Bahkan, mu'asyarah bil ma'ruf itu merupakan salah satu dasar pengembangan fiqh perempuan yang mencoba memanusiakan manusia dan memperlakukan manusia dengan baik, terutama dalam hubungan suami istri (Syafiq Hasyim, 2001:264).
Oleh karena itu, suami tidak mempunyai hak monopoli seksual. la tidak boleh hanya memikirkan kenikmatan sendiri dan mau enaknya sendiri. Sebab hubungan seksual harus didasarkan pada kesetaraan gender, tidak ada yang superior dan inferior. Semua sama-sama berkewajiban untuk melayani dan memberikan pelayanan yang terbaik. Suami dan istri, keduanya adalah pelayan bagi pasangannya masing-masing.
Suami maupun istri hendaknya melakukan hubungan seksual sesuai dengan prinsip tersebut. Suami dituntut untuk memperlakukan istri dengan baik. Istri pun dituntut untuk memperlakukan suami dengan baik. Itikad dan usaha untuk memberikan yang terbaik bagi pasangan masing-masing, bukan sekadar dianjurkan melainkan diharuskan.
Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga tidak boleh. Hal itu bertentangan dengan firman Allah:
"Mereka itu (istri-istri kamu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka " (QS. AL-Baqarah :187).
"Dan pergaulilah mereka secara patut (QS. An-Nisa :19) "
Serta Hadits Rasulullah saw. yang artinya: Sebaik- baiknya kalian (kaum laki-laki) adalah yang paling baik kepada istrinya ". (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Dengan demikian, suami maupun istri tidak boleh memaksa melakukan hubungan seksual. Sebab memaksa itu sama halnya dengan memperlakukan pasangannya tidak manusiawi, memandang pasangannya sebagai obyek pelampiasan nafsu, serta menempatkan pasangannya seperti layaknya orang yang dijajah. Padahal, suami maupun istri adalah setara yang mempunyai kedudukan yang sama yang harus diperlakukan dengan baik.
Masalah KDRT telah mendapatkan perlindungan hukum dalam UU nomor 23 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan bahwa:
1.        Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.        Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi menusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus di hapus;
3.        Korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
4.        Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;[2]
Selama ini dalam menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan undang-undang perkawinan, sebagian besar korban kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang kasusnya diproses secara pidana maupun aspek pertanggungjawaban perdatanya.
            Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut diatas dalam sebuah skripsi dengan judul:
”ASPEK TANGGUNG JAWAB PERDATA DAN PIDANA TINDAK KEKERASAN DALAM KELUARGA DITINJAU DARI SEGI UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN HUKUM ISLAM”


B. Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban perdata dan pidana tindak kekerasan dalam keluarga menurut sistem hukum Islam?
2. Bagaimana pertanggungjawaban perdata dan pidana tindak kekerasan dalam keluarga menurut sistem hukum positif?
2. Apa perbedaan dan persamaan antara kedua sistem hukum tersebut dalam memberikan hukuman pidana maupun hukuman perdata terhadap kekerasan dalam rumah tangga?

C.   Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.   Untuk mengetahui pertanggungjawaban perdata dan pertanggungjawaban pidana tindak kekerasan dalam keluarga menurut sistem hukum Islam.
2. Untuk mengetahui pertanggung jawaban perdata dan pertanggung jawaban pidana tindak kekerasan dalam keluarga menurut sistem hukum positif.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara kedua sitem hukum tersebut dalam memberikan hukuman pidana maupun perdata terhadap kekerasan dalam keluarga.

D.   Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.  Bagi Fakultas Agama Islam Jurusan al-Akhwal al-Syakhshiyah Universitas Muhammadiyah Malang, sebagai bahan referensi dalam rangka menambah khasanah kepustakaan mahasiswa atau dapat digunakan sebagai penulisan dan pembahasan lebih lanjut yang luas dan kritis.
2.   Bagi penulis, dapat memperluas wawasan dan cakrawala berfikir dan sumbangan pemikiran di bidang hukum Islam yang berkaitan dengan pertanggungjawaban perdata dan pertanggungjawaban pidana tindak kekerasan dalam keluarga.
3.   Sebagai  prasyarat memperoleh kelulusan strata satu (S1) untuk memperoleh gelar keserjanaan di bidang hukum Islam.
4.  Sebagai wahana informasi dan pengetahuan di bidang hukum Islam bagi masyarakat dan aktivis-aktivis keagamaan, terlebih bagi lembaga-lembaga keagamaan.

E.   Batasan Penelitian
           Pada penulisan ini pusat perhatian terbatas pada masalah pertanggungjawaban perdata dan pidana bagi pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 23 tahun 2004.

F.   Metodologi Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini sesuai dengan obyek yang diteliti, maka penulis berupaya menentukan langkah kerja sesuai dengan metodologi penyusunan sebagai berikut:
1.   Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan adalah termasuk penelitian pustaka (Library resaearch).
2.   Sumber Data
           a. Sumber Data Primer: data primer diperoleh dari UU nomor 23 tahun 2004, al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi dan kitab-kitab fiqh serta buku-buku hukum juga bahan pustaka lainnya yang banyak digunakan untuk penulisan ini yang relevan dangan permasalahan yang penulis bahas.
b. Sumber Data Skunder: data skunder diperoleh dari jurnal-jurnal dan juga bahan pustaka lainnya yang mendukung penulisan ini serta relevan dengan permasalahan yang penulis bahas.
3.   Tehnik Pengumpulan Data
            Oleh karena penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka tehnik pengumpulan data memakai sistem dokumenter. Dimana data-data yang dibutuhkan dicari dari Al-Qur’an, Hadits, buku-buku serta jurnal yang relevan dengan permasalahan yang penulis bahas.
4.   Tehnik Analisa Data
Tehnik analisa data yang penulis pakai dalam menyusun tulisan ini yaitu analisa kualitatif dengan pendekatan content analysis. Metode penelitian content analysis biasanya digunakan dalam penelitian komunikasi. Namun demikian ia dapat digunakan untuk penelitian pemikiran yang bersifat normatif. Umpamanya, penelitian menggunakan teks al-Qu’an dan pemikiran ulama didalam berbagai kitab fiqh dapat menggunakan metode ini. Isi teks al-Qur’an atau pemikiran ulama tersebut dapat dianalisis terhadap suatu putusan pengadilan atau yurisprudensi dapat menggunakan metode ini, dengan cara penafsiran isi putusan yang lazim digunakan dalam ilmu hukum, yaitu penafsiran ekstentif, teteologis, analogis, historis-sosiologis dan litterlijk (gramatikal). Analisa isi buku (content analysis) merupakan penelitian yang menghasilkan suatu kesimpulan tentang gaya bahasa buku, kecendrungan isi buku, tatatulis, layout, illustrasi dan sebagainya.
Setelah itu dilakukan pengelompokan yang disusun secara logis dan sistematis, kemudian dianalisis secara:
a. Deduktif, yaitu bertitik tolak dari data-data yang bersifat khusus, dalam hal ini penulis mengemukakan data-data atau fakta-fakta baik dalam bentuk definisi ataupun konsep tentang pemerkosaan secara umum lalu ditarik kesimpulan secara khusus.
b. Komparatif, yaitu membandingkan beberapa pandangan atau data yang ada kaitannya dengan permasalahan yang penulis bahas untuk mendapatkan data yang lebih mendekati kebenaran atau mungkin untuk mengkompromikannya.[3]

G.     Sistematika Pembahasan
Penyusunan tugas akhir ini dibagi menjadi 4 bab dengan maksud agar menghasilkan suatu susunan yang sistematis sehingga dengan mudah dapat dipahami. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
           Dalam bab pertama membahas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pembatasan masalah, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II Kajian Pustaka
Dalam bab kedua penulis uraikan tentang pengertian KDRT kemudian dilanjutkan dengan bentuk-bentuk KDRT serta faktor-faktor KDRT dan dampak-dampak KDRT diakhiri dengan pengertian pertanggungjawaban perdata dan pengertian pertanggungjawaban pidana tindak kekerasan dalam keluarga.
Bab III : Pembahasan
Dalam bab ketiga penulis membahas pertanggungjawaban perdata dan pertanggungjawaban pidana tindak kekerasan dalam keluarga menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia serta penulis sajikan perbedaan dan persamaan antara kedua sistem hukum tersebut.
Bab IV Penutup
Dalam bab keempat terdiri dari kesimpulan dan saran-saran dari penulis.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan adalah suatu perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera, mati atau kerusakan fisik, pada orang lain. Sangat dekat dengan perbuatan yang mengandung penyiksaan (torture) dan pengenaan penderitaan atau rasa sakit yang sangat berat.[4]
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia istilah “kekerasan” diartikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[5]
Menurut UU No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Terminologi kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu batasan yang menuju kepada kekerasan yang terjadi dalam kokus rumah tangga atau biasa dikenal sebagai “keluarga”. Memang tidak ada keseragaman pengertian kecuali kokus dan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi, sehingga pelaku dan korban merupakan area yang sangat terbuka, dalam arti kata siapapun yang dapat dikategorikan sebagai anggota keluarga atau tinggal dalam lingkup rumah tangga adalah pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelaku atau korban kekerasan domestik ini atau kekerasan dalam rumah tangga.[6]
KDRT dapat menimpa siapapun baik itu isteri, suami maupun anggota keluarga yang lain. Akan tetapi istilah KDRT dalam banyak literatur mengalami penyempitan makna, yaitu hanya mencakup penganiayaan suami terhadap isteri. Hal itu disebabkan oleh lebih banyak korban KDRT dialami oleh pihak isteri dibandingkan pihak suami dan anggota keluarga yang lain.
Sementara oleh kaum Feminis kekerasan terhadap kaum perempuan (isteri) didefinisikan sebagai setiap tindakan kekerasan variabel maupun fisik. Pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seseorang perempuan apakah masih anak-anak atau dewasa yang sudah menyebabkan kerugian fisik atau psikologis penghinaan atau perampasan kekuasaan yang menghilangkan subdominasi perempuan.Kekerasan yang dialami perempuan dalam perilaku kekerasan yang diterima berupa agresi fisik berupa menampar, memukul dan menonjok.
Kekerasan menurut Johan Galtung[7] terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Kekerasan kultural yaitu melegetamasi terjadinya kekerasan struktural dan kekerasan langsung serta menyebabkan kekerasan dianggap wajar saja terjadi (diterima) sebagian masyarakat.
2. Kekerasan struktural yaitu kekerasan yang berbentuk eksploitasi sistematis yang disertai mekanisme yang mengahalangi terbentuknya kesabaran serta menghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi dan penindasan, seperti ketidakdilan, kebijakan yang menindas.
3. Kekerasan langsung yaitu kekerasan yang terlihat secara langsung dalam bentuk-bentuk kejadian atau perbuatan-perbuatan, sehingga kekerasan jenis ini sangat mudah diidentifikasi karena menifestasi dari kekerasan kultural dan struktural.
            Menurut WHO (World Health Organization)[8] mengkonsepkan Kekerasan adalah penggunaan kekuasaan secara fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau memungkinkan terjadinya memar atau trauma, kematian dan hal-hal yang berbahaya. 
Kekerasan yang dialami seorang isteri, misalnya, karena masih kuatnya budaya paternalistik dan pemahaman budaya Jawa yang keliru, di mana seorang isteri harus tunduk kepada suami, seperti dicerminkan pepatah swarga nunut neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Hal itu mengakibatkan kekerasan yang diterima isteri dari suaminya atau dari keluarganya dalam rumah tangga dianggap sebagai urusan domestik. Tidak perlu diketahui masyarakat.

B. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
            Bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dapat berupa kekerasan fisik atau psikis, selain itu dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan) atau pasif (menelantarkan), dan pelanggaran seksual yang sering terjadi adalah kombinasi dari berbagai bentuk walaupun hanya dapat saja muncul dalam satu bentuk diatas. Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan (isteri) dalam rumah tangga tersebut mencakup :[9]
  1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakran sampai pengrusakan vaginal (kekerasan seksual) dan yang tidak langsun atau displacement dapat berupa memukul meja, pintu, memecahkan gelas, piring, vas bunga dan berlaku kasar. Menurut Frirze (dalam Munti,2000 : 36) yang dimaksud dengan kekerasan seksual yang dipaksakan oleh suami terhadap isteri, meskipun tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang dibaliknya. Sementara Hasbianto mendifinisakan sebagai pemaksaan dalam melakukan hubungan seksual, pemaksaan selera seksual dan pemaksaan seksual tanpa memperhatikan kepuasan isteri.
  2. Kekerasan psikis. Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitivitas emosi seseorang sangat bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikan  kasih saying pada isteri agar terpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini penting untuk perkembangan jiwa seseorang. Identifikasi akibat yang muncul pada kekerasan psikis lebih sulit diukur daripada kekerasan fisik. Kekerasan psikis dapat berupa ucapan kasar, jorok, meremehkan, menghina mengdiamkan, menteror baik langsung maupun tidak, berselingkuh dan ditinggal pergi.
  3. Penelantaran perempuan dari segi ekonomi, kesehatan, kebutuhan-kebutuhan. Pengertian menelantarkan adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki keberutngan kepada pihak lain, khususnya dalam lingkungan rumah tangga kurang menyediakan sarana perawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yang sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran. Namun, harus hati-hati untuk membedakan antara “ketidak mampuan ekonomi” dengan “penelantaran yang disengaja”. Bentuk kekerasan jenis ini menonjol khususnya terhadap anak karena anak belum mampu mengurus dirinya sendiri.
  4. Pelanggaran seksual. Pengertian pelanggaran seksual adalah setiap aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dan perempuan. Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa pemaksaan. Pelanggaran seksual dengan unsur penindasan dan menimbulkan perlukaan dan berkaitan dengan trauma emosi yang dalam bagi perempuan.
Menurut UU No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 5, kekerasan dalam rumah tangga meliputi empat macam yaitu, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.

C. Faktor-Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga
            Secara garis besar faktor-faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh dua faktor yaitu: [10]
1. Faktor internal adalah faktor penyebab dari dalam diri si pelaku, seperti tingkat emosional, gangguan kejiwaan dan lain-lain.
2. Faktor eksternal adalah faktor penyebab dari luar si pelaku seperti tekanan ekonomi, lingkungan, perselingkuhan dan lain-lain.
            Richard. D and Levy. C. menyatakan bahwa faktor internal timbulnya kekerasan terhadap isteri adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan, hal ini dapat berupa:
a. Sakit mental
b. Pecandu alkohol
c. Kurangnya komunikasi
d. Penyelewengan seks
e. Citra diri yang rendah
f. Frustasi
g. Perubahan situasi dan kondisi
h. Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah
            Menurut Elli N. Hasbianto mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya KDRT yaitu:
1. Budaya patriarki artinya: budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.
2. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama artinya: sering ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pembolehan mengontrol dan menguasai isterinya.
3. Pengaruh mode artinya: anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan yang ada ayah suka memukul atau kasar kepada ibunya, cendrung akan meniru pola tersebut kepada pasangannya.
            Dan dari ketiga faktor diatas ditumbuh suburkan dan didukung oleh kenyataan bahwa sikap komunitas cenrung mengabaikan persoalan kekerasan dalam rumah tangga karena terdapat keyakinan bahwa hal itu merupakan urusan dalam suatu rumah tangga.
            Sedangkan jika ditinjau dari lingkup rumah tangga maka hal-hal yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga atau faktor-faktor yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga terutama dalam hal ini kekerasan pada isteri diantaranya:
a. Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan
Kekerasan yang terjadi dalam adalah sebuah penyimpangan budaya akan tetapi terhadap batasan suami bahwa kekerasan yang dilakukan suami pada lingkup keluarga, maka masyarakat luas tidak berani ikut campur.
b. Kekurangan komunikasi antar suami-isteri
Kesetaraan dalam komunikasi dipengaruhi oleh penguasaan sumber-sumber ekonomi, sosial, budaya yang meliputi keluarga. Posisi isteri yang lemah (karena tidak dimunculkan kemandirian dalam dirinya), pada saat ia meyampaikan kekesalannya pada suami yang lebih dari padaya, justru akan membuat sang suami berinterpretasi yang salah, dimana hal tersebut memicu terjadinya kesalah pahaman dan berakhir dengan pemukulan.
c. Adanya penyelewengan
Penyelewengan yang biasanya dilakukan para suami pada saat dinas keluar kota dan lain-lain, pada saat diketahui si isteri, biasanya isteri tidak menerima dan menuntut pemutusan hubungan dengan wil (wanita idaman lain) suami, akan tetapi biasanya hal itu tidak dihiraukan suami, justru suami melakukan tindak kekerasan seperti memukul dan menyakitkan hati isteri.
d. Citra diri yang rendah dan frustasi
Citra diri yang rendah dari suami serta rasa frustasi karena kurang mampu mencukupi kebutuhan keluarga dimana sebaliknya dengan kondisi si isteri yang lebih darinya, memudah timbulnya salah penerimaan dalam diri suami terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan keluarga, yang hal ini pula akan mempermudah timbulnya tindakan pemukulan atau kekerasan lainnya sebagai pelampiasan.
e. Kekerasan dipahami sebagai upaya penyelesaian masalah
Kekerasan dipandang sebagai saranan jitu dalam menyelesaikan permasalahan dengan isteri dari pada melakukan pembicaraan secara baik-baik dengan mereka. Terkadang tindakan ini (pada umat Islam) didasari oleh adanya pemahaman yang salah atas Q.S. An-Nisa’ : 34, berupa diperbolehkannya pemukulan dilakukan sebagai hukuman bagi isteri yang nusyuz. Makna kata “pemukulan” dalam ayat tersebut diisyaratkan dari kata “wadhribuhunna” yang memiliki pengertian secara leksikal “pukullah perempuan yang melalaikan kewajiban sebagai seorang isteri”.

D. Dampak Negatif Kekerasan Dalam Rumah Tangga
            Kekerasan terhadap isteri harus segara dihapuskan, sebab efek-efek negatif yang ditimbulkannya sangat merugikan banyak pihak, paling tidak dampak negative itu meliputi empat hal tersebut:
            Pertama, penderitaan pada pihak isteri, perilaku dalam bentuk kekerasan fisik seperti : pemukulan dan penganiayaan yang dialami isteri sudah tentu merupakan penderiataan bagi isteri. Penderiataan fisik ini bias berlanjut menjadi penderitaan batin misalnya : rasa takut yang terus menerus untuk untuk mengerjakan sesuatu karena khawatir tindakannya disalahkan suaminya. Rumah tangga yang seharusnya menjadi menjadi tempat berlindung justru menjadi tempat yang paling berbahaya.
            Kedua, berpengaruh negatif terhadap pendidikan dan kesejahteraan anak. Keluarga yang retak karena perilaku suami melakukan kekerasan terhadap isteri akan berpengaruh pada pendidikan dan kesejahteraan anak. Padahal peran Bapak dan Ibu terhadap pendidikan awal anak sangat penting, wajarlah jika kemudian anak yang tidak terurus menjadi pemurung karena memikirkan. Keluarganya. Bahkan sangat mungkin jika kemudian ia menelantarkan atau mengelandang. Perempuan (isteri) dengan tingkat kesejahteraan anaknya pula, selain juga mengganggu siklus kehidupan sendiri.
            Ketiga, tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri dapat menjadi modal berkeluarga bagi anak-anaknya. Anak laki-laki yang sering melihat ayahnya melakukan kekerasan terhadap ibunya, setelah berumah tangga  akan sangat mungkin meniru kebiasaan ayahnya, dan mungkin bagi anak perempuan pada masa kecil melihat ibunya seperti demikian, maka dia juga menggangap bahwa semua laki-laki itu sama.
            Keempat, secara tidak langsung kekerasan yang dialami oleh isteri akan mengakibatkan kurangya akses dan partisipasi isteri di masyarakat. Seringkali perempuan korban kekerasan merasa bersalah dan minder, karena posisinya yang lemah dan terkekang oleh kekerasan suami, isteri sedikit demi sedikit atau bahkan tidak ada kesempatan untuk beraktifitas di sektor politik. Dengan demikian, secara tidak langsung hal ini menghambat terhadap proses pembangunan.

E. Beberapa Petunjuk Dalam Nash Al-Qur’an Tentang Kehidupan berumah tangga.
Dalam Nash al-Qur’an dijumpai beberapa prinsip menyangkut persoalan rumah tangga serta hubungan suami istreri, prinsip tersebut antara lain:
Pertama prinsip mawaddah wa rahmah. Dalam QS Ar-Rum ayat 21 Allah swt. berfirman:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isterimu dari jenismu sendiri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Mawaddah bermakna cinta kasih, sedangkan rahmah berarti kasih sayang. Mawaddah wa rahmah terbentuk dari suasana hati yang ikhlas dan rela berkorban demi kebahagiaan bersama. Suami isteri sejak akad nikah hendaknya telah dipertautkan oleh ikatan mawaddah dan rahmah, sehingga tidak mudah goyah dalam mengarungi samudera perkawinan.
Kedua, prinsip saling melengkapi dan melindungi. Dalam QS An-Nisa' ayat 1, 34 dan At-Tahrim ayat 6 Allah swt. berfirman:
kšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu". (QS. An-Nisa' :1)

ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar".

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". (QS. At-Tahrim: 6)

 Ayat ini mengisyaratkan bahwa sebagai makhluk, laki-laki dan perempuan, memiliki kelemahan dan keunggulan. Tidak ada yang sempurna dalam semua hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba kekurangan. Dalam kehidupan, suami isteri pasti saling membutuhkan. Masing-masing harus berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh. Satu dengan yang lain saling memahami dan bersikap saling pengertian serta memperlakukan pasangan dengan sopan (mu’asyarah bi al-ma’ruf). Mu’asyarah bi al-ma’ruf dapat dipahami sebagai suatu persahabatan, perkeluargaan, perkerabatan yang dibangun secara bersama-sama dengan baik sesuai tradisi dan situasi masyarakat, tetapi tidak bertentangan dengan norma agama, akal sehat, maupun fitrah manusia.
Jelaslah bahwa prinsip-prinsip dasar seperti digambarkan di atas sangat memberikan perlindungan bagi semua person dalam keluarga. Selain itu, pesan kehidupan yang berbasis kesetaraan sangat tampak dalam prinsip-prinsip tersebut. Memang diakui, sementara ini budaya patriarkhi masih sangat kental dalam masyarakat. Posisi laki-laki lebih diunggulkan, sementara perempuan menempati posisi kedua. Berangkat dari fenomena di atas, sudah saatnya kita mengembalikan ruh perkawinan pada tujuan dan prinsip dasar dalam Islam sehingga tercapai keselarasan hidup yang sesuai dengan al-Qur’an.
Jika persoalan dalam sebuah keluarga tidak dapat berjalan sesuai harapan maka menurut al-Qur'an suami harus menetapkan satu dari dua pilihan: pertama, memenuhi semua hak isteri dan melaksanakan segala kewajibannya dengan sopan santun. Kedua, memutuskan ikatan perkawinan dan membebaskan istrinya secara ma’ruf (patut dan sopan). Tidak ada pilihan lain. Dengan demikian, perilaku suami yang tidak mau memenuhi hak-hak isteri secara patut atau tidak pula mau menceraikan dengan baik, bertentangan dengan Islam.
Jangan sampai aturan dan prinsip dasar yang disampaikan Tuhan hanya dijadikan hiasan atau “mimpi” yang sulit direalisasikan. Padahal Rasulullah saw. telah memberikan uswah hasanah (teladan terbaik) bagi umatnya tentang bagaimana membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

F. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
            Yang dimaksud dengan dengan pertanggungjawaban pidana adalah kebebasan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Termasuk di dalam pertanggungjawaban pidana adalah akibat yang ditimbulkan dari apa yang diupayakan tersebut atas dasar kemauan sendiri. Hal ini karena pelakunya mengetahui --dengan kemauan dan kebebasan tersebut-- maksud dan akibat yang akan timbul dari perbuatan atau tidak berbuat tadi.[11]
            Sebagai salah satu unsur dalam terjadinya suatu jarimah, yaitu sebagai unsur moril, pertanggungjawaban pidana harus meliputi tiga hal:
  1. Terdapatnya perbuatan yang dilarang.
  2. Adanya kebebasan dalam berbuat atau tidak.
  3. Kesadaran bahwa perbuatan itu mempunyai akibat tertentu.
Al-mas’uliyyah al-jinayyah nama lain dari pertanggungjawaban pidana, hanya ada kalau ketiga hal tersebut hadir kedalam pribadi pembuat delik. Ini berarti hanya mereka yang menerima taklif atau pembebanan saja yang dianggap mempunyai pilihan dan mereka itulah yang disebut dalam terminologi fiqih sebagai mukallaf. Itulah sebabnya, mereka yang karena suatu sebab hilangnya kemauan tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, seperti orang yang sakit ingatan, belum dewasa dan orang yang menerima tekanan yang berat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Namun, karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya, pertanggungjawaban dikenakan kepada orang mewakili badan hukum tersebut.
            Hukuman dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya ketertiban dan ketentraman masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggung jawab, dipikulkan kepada pembuat jarimah untuk terciptanya tujuan tadi. Untuk itu harus ada kesesuaian antara hukuman sebagai beban dengan kepentingan masyarakat.
            Untuk terciptanya tujuan tersebut, hukuman harus :
  1. Memaksa seseorang untuk tidak melakukan ulang perbuatannya.
  2. Menghalangi keinginan orang lain untuk melakukan hal serupa, karena bayangan yang ditimbulkan atas hasil perbuatannya akan diterima sebagai sesuatu yang sangat merugikan dirinya.
  3. Sanksi yang diterima pembuat jarimah harus pula bersesuaian dengan hasil perbuatannya, artinya berkeadilan.
  4. Sanksi hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukkan serajat kemanusiaan, kaya miskin, pejabat dan orang biasa disamping tidak rasialis semuanya dianggap sama dimata hukum.
  5. Hukuman harus diterima pembuat jarimah, tidak diberati dan tidak memberati, selain pembuat jarimah karena adanyapertalian geneokologis, kekeluargaan. Artinya dia hanya bertanggungjawab sendiri atas apa yang dia perbuat tanpa membebani atau dibebani orang lain.
Hal sebagaimana tersebut diatas sesuai dengan prinsip yang diajarkan Al-Qur’an, surat Fathir ayat 18:
wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 2t÷zé& 4 bÎ)ur äíôs? î's#s)÷WãB 4n<Î) $ygÎ=÷H¿q Ÿw ö@yJøtä çm÷ZÏB ÖäóÓx« öqs9ur tb%x. #sŒ #n1öè% 3 $yJ¯RÎ) âÉZè? tûïÏ%©!$# šcöqt±øƒs Nåk®5u Í=øtóø9$$Î/ (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# 4 `tBur 4ª1ts? $yJ¯RÎ*sù 4ª1utItƒ ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 4 n<Î)ur «!$# 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÑÈ
Artinya: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan Hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu)”.


Besar kecilnya hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, selain ditentukan oleh akibat yang ditimbulkan, juga ditentukan oleh hal-hal lain yang terdapat dalam diri pembuat tindak pidana. Sebab disepakati bersama-sama, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dan lain-lain. Adanya perbedaan bentuk-bentuk perlawanan terhadap hukum mengakibatkan adanya tingkat-tingkat dalam pertanggungjawaban pidana.

G. Pengertian Pertanggungjawaban Perdata
            Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban perdata ialah pertanggungjawaban terhadap hak dan kewajiban dalam hukum keluarga. Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibedakan menjadi tiga macam[12], yaitu:
  1. Hak dan kewajiban antara suami-istri;
  2. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya;
  3. Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang tuanya telah mengalami proses penuaan.
Hak dan kewajiban antara suami istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 32 sampai dengan pasal 36 UU Nomor 1 Tahun 1974[13]. Hak dan kewajiban suami istri adalah sebagai berikut:
  1. Menegakkan rumah tangga.
  2. Keseimbangan dalam rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat.
  3. Suami-istri berhak melakukan perbuatan hokum.
  4. Suami istri wajib mempunyai kediaman yang tetap.
  5. Saumi istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
  6. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
  7. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami maka istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974[14]. Hak dan kewajiban orang tua dan anak dikemukakan sebagai berikut:
  1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
  2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974).
  3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
  4. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orang tua (Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974)
  5. Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hokum di dalam dan diluar pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
  6. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau mengadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 48 UU Nomor 1 Tahun 1974).












BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Tanggung Jawab Perdata Dan Pidana Tindak Kekerasan dalam Keluarga Menurut Sistem Hukum Islam.
B. Aspek Tanggung Jawab Perdata Dan Pidana Tindak Kekerasan dalam Keluarga Menurut Islam Hukum Positif.
            Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 – pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.
Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”
Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”

Hak dan kewajiban suami istri
Perspektif UU No. 1/1974
Tampaknya UU Perkawinan memberikan aturan yang jelas berkenan hak kewajiban suami istri ini diatur di dalam pasal 30 sampai 34.
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Sesuai dengan prinsip perkawinan yang dikandung oleh UU Perkawinan, pasa pasal 31 sangat jelas disebutkan bahwa kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup masyarakat. Menurut Yahya Harahap, khusus menyangkut ayat 1 merupakan spirit of the age (ketentuan semangat zaman) dan merupakan hal yang sangat wajar untuk mendudukkan suasana harmonis dalam kehidupan keluarga. Dan merupakan perjuangan emansipasi yang sudah lama berlangsung.[15]
Semangat keseimbangan ini tampaknya tidak muncul di dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada 108 KUH Perdata dijelaskan bahwa kedudukan seorang wanita setelah yang bersangkutan kawin dianggap tidak mampu bertindak (handelingsonbekwaam), oleh karena hanya dengan bantuan pihak suami yang bersangkutan dapat melakukan perbuatan-perbuatan huk






































Lampiran :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
 
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.                   bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.                  bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c.                   bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan system hokum di Indonesia belum menjamin pelindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
d.                  bahwa berdasarkan pertimbangan seba¬gaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu dibentuk Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat :   Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal  28I, Pasal 28J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.
  2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
  3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga.
  4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
  5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
  6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
  7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
 Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
  1. suami, isteri, dan anak;
  2. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud  ada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
  3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

BAB II
ASAS DAN TUJ UAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
  1. penghormatan hak asasi manusia;
  2. keadilan dan kesetaraan gender;
  3. nondiskriminasi; dan
  4. perlindungan korban
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
  1. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
  2. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
  3. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
  4. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam Iingkup rumah tangganya, dengan cara:
  1. kekerasan fisik;
  2. kekerasan psikis;
  3. kekerasan seksual; atau
  4. penelantaran rumah tangga
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang  mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang  mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a.                   pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.                  pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam Iingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
  1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
  2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang  mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:
  1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga  sosial, atau pihak Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah  perlindungan dari pengadilan;
  2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses  pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  5. pelayanan bimbingan rohani.

BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1)     Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah ;
  1. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
  2. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam  rumah tangga;
  3. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah  tangga; dan
  4. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkari standar dan akreditasi pelayanan yang  sensitif gender.
(2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakah oleh menteri.
(3)     Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat mei kukan upaya:
  1. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
  2. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
  3. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
  4. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial Iainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
  1. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
  2. memberikan perlindungan kepada korban;
  3. memberikan pertolongan darurat; dan
  4. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
  1. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.
  2. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
  3. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
  1. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
  2. kekerasan dalam rumah tangga adaiah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
  3. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus:
  1. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
  2. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
  1. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
  2. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  3. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
  4. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2)     Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
  1. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
  2. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
  3. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
  4. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:
  1. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
  2. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
  3. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1)     Korban berhak melaporkan secara Iangsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian balk di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
(2)     Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban clan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:
  1. korban atau keluarga korban;
  2. teman korban;
  3. kepolisian;
  4. relawan pendamping; atau
  5. pembimbing rohani
Pasal 30
  1. Permohonan perintah perlindungai disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
  2. Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohorian tersebut.
  3. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya.Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk :
  1. menetapkan suatu kondisi khusus;
  2. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pewpajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32
  1. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  2. Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
  3. Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.

Pasal 33
  1. Pengadilan dapat menyatakan satu atau Iebih tambahan perintah perlindungan.
  2. Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
  1. Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau Iebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.
  2. Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
  1. Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
  2. Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
  3. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
  1. Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.
  2. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
  1. Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
  2. Dalam hal pengadilan mendapatka: aporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
  3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
  1. Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
  2. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
  3. Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan.

BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
  1. tenaga kesehatan;
  2. pekerja sosial;
  3. relawan pendamping; dan/atau
  4. pembimbing rohani.
Pasal 40
  1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya.
  2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeienggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
  3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
  4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hat perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang:
  1. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
  2. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
  1. pembatasan gerak pelaku balk yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
  2. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2004
                    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                      ttd
                    MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
 ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95.










Serta beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait erat dengan masalah itu seperti UU No 1 tahun 1946 tentang KUHP dan UU No 8 tahun 1981 HUKAP, UU No 7/1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Keppres No 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak,".

Namun demikian, masih banyak peraturan perundangan yang belum berpihak pada kepentingan perempuan dan pemenuhan hak-hak anak, masih mendikriminasi perempuan dan anak. "Lahirnya kedua UU yaitu UU No 23 Tahun 2002 dan UU 23 Tahun 2004 tentang PKDRT merupakan jawaban untuk mengisi peraturan perundang-undangan yang berpihak pada kepentingan perempuan dan anak, terutama perlindungan terhadap kekerasan dan ancamannya.


[1] Winarto Herusansono, Kekerasan dalam Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri, Kompas, 22 Maret 2003, hal. 9

[2] Undang-Undang tentang Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2004.
[3] Sutrisno Hadi, Metodologi Riset (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1986), hal. 36
[4] Barda Nawawi Arief, op cit. Hal. 20
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua Tim Penyusun Kamus pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta, 1992, hal. 485 
[6]  Nur Hayati, Elli Nur, dkk. Panduan untuk pendamping korban kekerasan, Yogyakarta, 2000, hal. 3
[7] Windku.I.Marsana, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, (Yogyakarta, Kanisius, 1992), hal:8
[8] Suryadi dan Handayani, Aplikasi Kesehatan Masyarakat pada Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga, 2000. Hal:3
[9] Munti, 2000 : 36
[10] Fathul Djanah “Kekerasan terhadap isteri”, Lkis, Yogyakarta, 2003, Hal:36
[11] H. Rahmat Hakim, “Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah)”, CV. Pustaka Setia, Bandung, hal. 175
[12] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 59-60
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan nasional, (Medan: Zahir Trading 1975), hal. 91.






0 komentar:

Posting Komentar