ABSTRAK
Dalam mensejahterakan ummatnya,
agama Islam memberikan berbagai solusi di saat ummatnya dalam masalah, salah
satunya ialah keinginan bercerai dari istri yang dirasakan perlu di saat sebuah
rumah tangga tidak mungkin dilanjutkan lagi, hal ini bisa dilakukan dengan
jalan khulu’. Khulu’ merupakan sebuah jalur yang bisa ditempuh
dalam mengajukan gugat cerai di Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam KHI. Namun realitanya banyak sekali istri yang
tidak mau menempuh jalur ini di saat ingin mengajukan gugat cerai. Apakah
disebabkan banyak kendala dalam mengajukan perkara khulu’ atau tidak
mempunyai kejelasan hukum dalam beracara khulu’ di Peradilan Agama.
Inilah yang membuat penulis tergerak untuk mengkaji dan meneliti berbagai
ketentuan dan hukum khulu’ dalam dua sudut pandang yang berjudul “Khulu’
Dalam Perspektif Mazhab Syafi’i dan KHI”. Sesuai dengan landasan maka yang
menjadi topik dalam tulisan ini ialah bagaimana konsep khulu’ menurut
mazhab Syafi’i dan KHI serta di mana perbedaan sudut pandang keduanya. Dari itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan apa saja yang menjadi konsep dan
perbedeaan khulu’ dari dua sudut pandang tersebut. Metode yang penulis
gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena data yang
dikumpulkan bersifat teori dan pemikiran, yaitu pemikiran ulama mazhab Syafi’i
dan teori KHI. Dari data yang telah penulis kumpulkan, penulis analisa dengan
menggunakan teknik countent analisys, selanjutnya penulis lakukan
komparatif tentang konsep khulu’ dan perbedaannya dari dua sudut
pandang. Dari peneletian yang telah penulis angkat, penulis menemukan bahwa
mazhab Syafi’i sangat lengkap dalam menetapkan hukum khulu’ dengan
mencantumkan rukun serta syarat untuk bisa terlaksananya khulu’, sedangkan
KHI tidak demikian sehingga membuat ketidak seragaman
hakim dalam memutuskan hukum dalam perkara khulu’. Akan tetapi banyak
juga hal yang sama antara mazhab Syafi’i dengan KHI dalam menetapkan konsep khulu’.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan berdasarkan
teori dari sudut pandang Mazhab
Syafi’i dan KHI yang berhasil penulis dapatkan, pada bab ini penulis mencoba
merangkai kesimpulan
dan saran yang penulis anggap perlu,
yaitu:
1. Mazhab Syafi’i dan KHI
menempatkan khulu’ sebagai jalan yang boleh ditempuh oleh seorang istri
di saat ia ingin memisahkan diri dari suaminya. Menurut mazhab Syafi’i, hukum khulu’
berbeda tergantung alasan kenapa seorang istri melakukan khulu’, beranjak
dari alasan tidak sanggup mempertahankan hubungan rumah tangga maka hukum khulu’
boleh, ada juga yang mengatakan sunat. Beranjak dari sama-sama suka maka hukum khulu’
haram dan ada juga yang mengatakan boleh. Sedangkan KHI tidak membuka
peluang untuk diterima gugat cerai khulu’ jika tidak mampu menyertakan
alasan sebagaimana tertera dalam pasal 116 KHI.
2. Mazhab Syafi’i menentukan
apa saja yang menjadi rukun dan syarat khulu’, ini menandakan mazhab
Syafi’i sangat konkrit dalam menciptakan dan menetapkan sebuah hukum. Sedangkan
KHI tidak menentukannya, Hal ini menurut penulis berdampak kepada tidak seragam
tata cara yang ditempuh oleh hakim di saat menyelesaikan perkara khulu’
di Pengadilan Agama.
3. Kewajiban membuktikan alasan-alasan perceraian yang diatur KHI dalam pasal
116 di saat seorang istri mengajukan gugat cerai khulu’,makin
mempersulit istri padahal sangat jelas khulu’ merupakan alternatif
terakhir yang dipilih istri di saat ia tidak mampu meneruskan rumah tangganya.
Lagi pula, istri akan lebih memilih untuk mengajukan gugat cerai biasa
dibandingkan dengan gugat cerai khulu’, sebab selain tidak dikenakan ‘iwadh
istri juga berhak atas mut’ah dan nafkah selama ia ber-‘iddah.
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis
angkat serta merangkumnya dalam sebuah kesimpulan, penulis akan memaparkan beberapa saran-saran, yaitu sebagai berikut :
1.
Menjadikan
KHI sebagai pengangan hakim dalam memutuskan perkara, hendaknya perlu direvisi
kembali. Mengingat masyarakat yang ditangani oleh hakim manyoritasnya
bermazhab Syafi’i, sedangkan hukum dan berbagai ketentuan dalam KHI ada yang
tidak sesuai dengan mazhab Syafi’i.
2.
Hendaknya
pemerintah menetapkan peraturan bahwa, hakim Pengadilan Agamamerujuk kepada
pendapat ulama terkemuka mazhab Syafi’i yang telah terbukti secara autentik,
bahwa hukum yang telah diistinbahtkan oleh ulama terdahulu mampu diterapkan
secara universal dan komprehensif.
0 komentar:
Posting Komentar