Minggu, 17 Agustus 2014

KHULU’ DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I DAN KHI


ABSTRAK

Dalam mensejahterakan ummatnya, agama Islam memberikan berbagai solusi di saat ummatnya dalam masalah, salah satunya ialah keinginan bercerai dari istri yang dirasakan perlu di saat sebuah rumah tangga tidak mungkin dilanjutkan lagi, hal ini bisa dilakukan dengan jalan khulu’. Khulu’ merupakan sebuah jalur yang bisa ditempuh dalam mengajukan gugat cerai di Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam KHI. Namun realitanya banyak sekali istri yang tidak mau menempuh jalur ini di saat ingin mengajukan gugat cerai. Apakah disebabkan banyak kendala dalam mengajukan perkara khulu’ atau tidak mempunyai kejelasan hukum dalam beracara khulu’ di Peradilan Agama. Inilah yang membuat penulis tergerak untuk mengkaji dan meneliti berbagai ketentuan dan hukum khulu’ dalam dua sudut pandang yang berjudul “Khulu’ Dalam Perspektif Mazhab Syafi’i dan KHI”. Sesuai dengan landasan maka yang menjadi topik dalam tulisan ini ialah bagaimana konsep khulu’ menurut mazhab Syafi’i dan KHI serta di mana perbedaan sudut pandang keduanya. Dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan apa saja yang menjadi konsep dan perbedeaan khulu’ dari dua sudut pandang tersebut. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena data yang dikumpulkan bersifat teori dan pemikiran, yaitu pemikiran ulama mazhab Syafi’i dan teori KHI. Dari data yang telah penulis kumpulkan, penulis analisa dengan menggunakan teknik countent analisys, selanjutnya penulis lakukan komparatif tentang konsep khulu’ dan perbedaannya dari dua sudut pandang. Dari peneletian yang telah penulis angkat, penulis menemukan bahwa mazhab Syafi’i sangat lengkap dalam menetapkan hukum khulu’ dengan mencantumkan rukun serta syarat untuk bisa terlaksananya khulu’, sedangkan KHI tidak demikian sehingga membuat ketidak seragaman hakim dalam memutuskan hukum dalam perkara khulu’. Akan tetapi banyak juga hal yang sama antara mazhab Syafi’i dengan KHI dalam menetapkan konsep khulu’.

BAB V
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan berdasarkan teori dari sudut pandang Mazhab Syafi’i dan KHI yang berhasil penulis dapatkan, pada bab ini penulis mencoba merangkai kesimpulan dan saran yang penulis anggap perlu, yaitu:
1.    Mazhab Syafi’i dan KHI menempatkan khulu’ sebagai jalan yang boleh ditempuh oleh seorang istri di saat ia ingin memisahkan diri dari suaminya. Menurut mazhab Syafi’i, hukum khulu’ berbeda tergantung alasan kenapa seorang istri melakukan khulu’, beranjak dari alasan tidak sanggup mempertahankan hubungan rumah tangga maka hukum khulu’ boleh, ada juga yang mengatakan sunat. Beranjak dari sama-sama suka maka hukum khulu’ haram dan ada juga yang mengatakan boleh. Sedangkan KHI tidak membuka peluang untuk diterima gugat cerai khulu’ jika tidak mampu menyertakan alasan sebagaimana tertera dalam pasal 116 KHI.
2.    Mazhab Syafi’i menentukan apa saja yang menjadi rukun dan syarat khulu’, ini menandakan mazhab Syafi’i sangat konkrit dalam menciptakan dan menetapkan sebuah hukum. Sedangkan KHI tidak menentukannya, Hal ini menurut penulis berdampak kepada tidak seragam tata cara yang ditempuh oleh hakim di saat menyelesaikan perkara khulu’ di Pengadilan Agama.
3.    Kewajiban membuktikan alasan-alasan perceraian yang diatur KHI dalam pasal 116 di saat seorang istri mengajukan gugat cerai khulu’,makin mempersulit istri padahal sangat jelas khulu’ merupakan alternatif terakhir yang dipilih istri di saat ia tidak mampu meneruskan rumah tangganya. Lagi pula, istri akan lebih memilih untuk mengajukan gugat cerai biasa dibandingkan dengan gugat cerai khulu’, sebab selain tidak dikenakan ‘iwadh istri juga berhak atas mut’ah dan nafkah selama ia ber-‘iddah.
B.  Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis angkat serta merangkumnya dalam sebuah kesimpulan, penulis akan memaparkan beberapa saran-saran, yaitu sebagai berikut :
1.    Menjadikan KHI sebagai pengangan hakim dalam memutuskan perkara, hendaknya perlu direvisi kembali. Mengingat masyarakat yang ditangani oleh hakim manyoritasnya bermazhab Syafi’i, sedangkan hukum dan berbagai ketentuan dalam KHI ada yang tidak sesuai dengan mazhab Syafi’i.
2.    Hendaknya pemerintah menetapkan peraturan bahwa, hakim Pengadilan Agamamerujuk kepada pendapat ulama terkemuka mazhab Syafi’i yang telah terbukti secara autentik, bahwa hukum yang telah diistinbahtkan oleh ulama terdahulu mampu diterapkan secara universal dan komprehensif.














0 komentar:

Posting Komentar